Depresi kerap dialami ibu setelah melahirkan atau biasa disebut postpartum depression (depresi pasca melahirkan). Sayangnya, banyak orang yang belum memahami dan menyadari gejala dan dampak depresi. Beberapa bahkan menyangkal depresi sebagai sebuah kondisi klinis yang harus diobati. Efeknya, banyak ibu yang kemudian berjuang sendirian melawan stres, kecemasan, dan depresi dalam dirinya. Padahal, depresi bukanlah hal yang mudah dihadapi. Tanpa penanganan tepat, depresi dapat berakibat fatal.
Depresi setelah persalinan lebih dikenal dengan nama postpartum depression atau PPD. Menurut American Psychological Association, PPD biasanya ditandai dengan gangguan tidur dan nafsu makan, kelelahan, rasa bersalah, hingga pikiran untuk bunuh diri. Menghadapi PPD, apalagi tanpa dukungan orang-orang terdekat bukanlah hal mudah. Pengalaman ini dirasakan betul oleh Nur Yanayirah, pendiri MotherHope Indonesia.
Titik awal depresi Nur Yanayirah dimulai saat ia merasakan pahitnya pengalaman kehilangan buah hati pada tahun 2011. Setelah menunggu kehadiran buah hati selama 4 tahun lamanya, perempuan yang akrab disapa Yana ini harus menghadapi kenyataan pahit: bayi pertamanya meninggal dalam kandungan. “Saat itu saya merasa sedih dan bersalah. Saya menganggap saya tidak bisa menjadi ibu yang baik dan tidak mampu menjaga kandungan,” ujar Yana.
Kehilangan bayi pertamanya ini pun meninggalkan trauma mendalam bagi Yana. Hingga akhirnya, ketika 5 bulan kemudian ia hamil lagi, perasaan panik dan takut lebih mendominasi hari-hari Yana ketimbang perasaan bahagia. “Yang saya rasakan hanya sedih dan ketakutan berlebihan. Saat pergi ke rumah sakit pun saya kerap terkena serangan panik. Saya takut melihat dokter, perawat, layar usg, dan darah,” kenang Yana. Pun, trauma ini terbawa hingga hari persalinan. Induksi yang menyakitkan dan traumatis dari persalinan sebelumnya, juga kondisi air ketuban yang sudah hampir habis mengharuskan Yana melahirkan secara sesar.
Operasi caesar yang dilakukan Yana untuk melahirkan bayinya ternyata tidak hanya berdampak pada fisiknya. Stigma persalinan sesar yang kental melekat di keluarga besar Yana perlahan-lahan juga mempengaruhi kondisi mentalnya.
“Di keluarga besar saya, mayoritas melahirkan secara normal. Maka dari itu, ketika saya melahirkan secara caesar, banyak pertanyaan yang muncul dari anggota keluarga. Semua merasa aneh. Banyak stigma. Saya dibilang tidak mau usaha, tidak mau merasakan sakit, maunya enaknya aja, dibilang manja, lemah,” kisahnya. Alih-alih mengucapkan selamat saat menjenguknya, banyak anggota keluarga maupun teman yang justru menghakimi proses persalinannya.
Selain perkataan negatif dari orang-orang terdekat dan minimnya waktu istirahat setelah melahirkan, tekanan yang dialami Yana juga berasal dari persoalan ASI. Selepas melahirkan, Yana dan bayinya tidak bertemu selama 12 jam. Buah hatinya pun diberikan susu formula tanpa seizin Yana dan suami. Akibatnya, ketika Yana berusaha memberikan ASI kepada sang bayi, ia mengalami bingung puting dan tidak mau menyusu.
“Saya tidak merasa dekat dengan bayi ini karena terlalu banyak tekanan dari lingkungan. Badan saya juga sakit, meriang, dan gatal-gatal karena caesar. Belum lagi dengan pendapat orang. Saya merasa jadi ibu yang kurang sempurna. Banyak yang mengatakan saya gendut. Banyak juga yang bilang harus ini itu. Dan saya sendiri juga tidak ada waktu istirahat. Kewalahan, kecapekan, dan ASI pun tidak keluar karena tertekan,” ujar Yana.
Empat puluh hari setelah melahirkan, Yana mengunjungi konselor laktasi untuk memeriksakan bayinya yang mengalami bingung puting. Dari situlah Yana tahu bahwa ia mungkin saja mengalami depresi. “Waktu itu dokter laktasi melihat saya aneh, bingung, takut, dan gemetar. Ialah yang berkata bahwa saya sepertinya mengalami baby blues syndrome atau bahkan depresi. Saya pun disarankan untuk pergi ke psikolog,” kisahnya.
Sayangnya, ketika Yana menyampaikan hal ini kepada keluarga, ia justru dianggap mengada-ada. “Saat saya bilang kepada keluarga bahwa kemungkinan saya depresi, saya malah dibilang lebai dan kemasukan jin. Kalau saya menangis, saya malah diperlakukan seperti kemasukan setan. Padahal, saya hanya ingin dimengerti dan istirahat. Waktu itu, suami saya juga belum paham soal depresi,” ujar Yana.
Puncak depresi Yana terjadi saat ia membawa bayinya yang berusia 9 bulan untuk terjun ke danau. Untungnya, ada seseorang yang menyelamatkannya dan kemudian menelepon suaminya. Dari situlah, sang suami mengerti bahwa istrinya perlu ditolong. “Suami saya kaget kenapa saya bisa begini. Dia bingung kenapa saya tidak sayang dengan anak. Bukan saya tidak sayang. Kalau berdekatan dengan anak, saya takut melukai dia,” ucap Yana.
Berangkat dari peristiwa itu, Yana dan suami pun mulai menghadiri pertemuan Komunitas Peduli Trauma dan menjalani terapi ke psikolog pernikahan. Jadi, baik Yana maupun suami sama-sama menjalani konsultasi dengan psikolog. “Dari konsultasi itu, barulah diberi pengertian oleh dokter kalau saya terkena depresi dan tidak mengada-ada, apalagi kemasukan jin. Suami saya pun mulai paham. Ia juga mulai bantu pekerjaan rumah tangga dan merawat anak. Lebih sabar juga,” ucap Yana.
Yana mengalami depresi dari tahun 2011 hingga tahun 2013. Pada tahun 2014-lah Yana sudah mulai berani keluar rumah dan kembali bertemu dengan teman-teman. Meski begitu, Yana tidak berhenti melakukan terapi. Hingga saat ini pun, Yana rutin mengikuti terapi lanjutan, minimal sebanyak lima kali dalam setahun. “Kalau ada trigger, ada kemungkinan depresi yang saya alami bisa kambuh lagi. Oleh karena itu, saya masih rutin menjalani terapi untuk menjaga kondisi,”katanya.
Berangkat dari pengalaman depresi yang ia alami, Yana tidak ingin ibu lainnya mengalami hal yang sama. Ia tak ingin para ibu yang mengalami baby blues syndrome ataupun PPD berjuang sendirian. Motivasi inilah yang kemudian mendorongnya untuk mendirikan MotherHope Indonesia pada 1 Februari 2015.
MotherHope Indonesia adalah organisasi nonprofit yang memberi dukungan sosial pada ibu dan keluarga yang mengalami baby blues syndrome, depresi, dan psikosis setelah melahirkan. Kegiatan utama organisasi ini adalah melakukan pendampingan baik secara daring maupun luring kepada ibu dan keluarganya. Dalam menjalankan program-programnya, MotherHope Indonesia dibantu oleh tenaga medis, seperti psikolog, bidan, hingga perawat.
Salah satu kegiatan yang rutin dilakukan oleh MotherHope Indonesia adalah menyelenggarakan support group di klinik atau rumah sakit. Kegiatan ini biasanya menghadirkan narasumber tenaga kesehatan seperti psikiater untuk membagi ilmu. “Kegiatan support group di rumah sakit biasanya menghadirkan narasumber tenaga kesehatan. Lalu, para ibu yang hadir bisa menceritakan pengalamannya. Diskusinya sengaja dibuat santai. Peserta duduk melingkar di bawah dan hanya dihadiri 5 atau 10 pasangan suami istri agar semua kebagian waktu untuk bercerita. Ibu yang hadir pun harus didampingi suami agar suami juga bisa mendengar dan mendampingi nantinya,” jelas Yana.
Selain kegiatan di rumah sakit, MotherHope Indonesia juga memiliki kegiatan daring, seperti kuliah WhatsApp dan webinar. Narasumber yang menyampaikan materi dapat berasal dari kalangan psikolog ataupun sesama penyintas depresi. Bagi Bunda yang berminat mengikuti kegiatan MotherHope Indonesia, Bunda dapat bergabung dengan grup Facebook MotherHope Indonesia untuk melihat jadwalnya.
Bunda mungkin ingat beberapa waktu lalu Chrissy Teigen, istri dari penulis lagu dan penyanyi John…
Pandemi Covid-19 berdampak pada kita semua. Namun, tahukah, Bunda, bahwa pandemi ini memiliki konsekuensi tersendiri…
Neonatal intensive care unit atau biasa disingkat NICU adalah ruang perawatan intensif bagi bayi yang…
Tidak ada seorang ibu atau ayah yang ingin melahirkan bayi prematur. Akan tetapi, beberapa orangtua…
Vaksinasi Covid-19 terus digencarkan pemerintah untuk mencapai kekebalan komunitas atau herd immunity. Di tengah program…
Masa nifas atau postpartum kerap menjadi masa yang sulit bagi ibu baru. Adaptasi, rasa sakit…