Kehamilan
Diet Keto saat Hamil? Hati-hati, Janin Bisa Alami Hal Ini
Menjalani diet keto saat hamil bisa jadi malah berdampak buruk bagi pertumbuhan janin, lho Bun. Simak penjelasannya berikut ini.
Bunda pasti pernah mendengar program diet keto. Diet ini sedang populer akhir-akhir ini dan digadang-gadang mampu mengurangi berat badan secara cepat. Bagi ibu hamil yang kerap kaget ketika melihat jarum timbangan, diet keto pasti sangat menggiurkan. Eits, tapi Bunda jangan terburu-buru menerapkannya ya. Sebelum memutuskan, ketahui dulu apa itu diet keto dan bagaimana dampaknya bagi kehamilan.
Apa Itu Diet Keto?
Diet keto atau diet ketogenik adalah sebuah pola makan yang membatasi konsumsi karbohidrat dan di sisi lain memperbanyak konsumsi lemak. Saat menjalani ini, pelaku diet keto biasanya mengontrol betul konsumsi karbohidrat. Nasi, roti, hingga umbi-umbian sama sekali dihilangkan dari daftar menu makanan. Dalam sehari, pelaku diet keto hanya mengonsumsi karbohidrat paling tidak 5% dari seluruh porsi konsumsi harian.
Sebagai gantinya, pelaku diet keto akan mengonsumsi makanan tinggi lemak, seperti daging, ikan, telur, dan keju. Sayur dan buah pun dibatasi pada jenis yang tidak mengandung karbohidrat sama sekali tapi mengandung lemak yang tinggi, seperti sayuran hijau, tomat, alpukat, dan stroberi. Asupan protein pun dibatasi menjadi sekitar 20% saja dari keseluruhan porsi makanan.
Baca juga: Bunda, Ini Pentingnya Protein Bagi Ibu Hamil
Bagaimana Mekanisme Diet Keto?
Ketika pertama kali mendengar daftar menu yang dianjurkan dalam diet keto, sebagian orang mungkin mengernyitkan dahi. Mau menghilangkan lemak, kok, malah mengonsumsi lemak?
Dalam keadaan normal, sel-sel tubuh menggunakan glukosa sebagai bahan utama untuk menghasilkan energi. Glukosa biasanya berasal dari makanan yang mengandung karbohidrat. Ini termasuk gula dan makanan bertepung seperti roti dan pasta yang di dalam tubuh terurai menjadi gula sederhana. Glukosa dapat digunakan tubuh sebagai bahan bakar atau disimpan dalam hati dan otot sebagai glikogen.
Jika tidak ada ketersediaan glukosa yang cukup untuk memenuhi kebutuhan energi, tubuh akan mengadopsi strategi alternatif dalam rangka pemenuhan kebutuhan tubuh tadi. Tubuh pun mulai memecah simpanan lemak untuk menyediakan glukosa dari trigliserida. Keton adalah produk sampingan dari proses ini.
Tanda-Tanda Ketosis
Keton adalah asam yang dapat menumpuk dalam darah dan dieliminasi dalam urin. Dalam jumlah kecil, keton sebagai pertanda untuk menunjukkan bahwa tubuh memecah lemak. Namun, dalam jumlah yang besar keton dapat meracuni tubuh dengan menyebabkan proses yang disebut ketoasidosis.
Ketosis menggambarkan keadaan metabolik yang mana tubuh mengubah simpanan lemak menjadi energi dan melepaskan keton dalam prosesnya
Namun, hal baru pasti membutuhkan adaptasi. Tubuh Bunda yang baru saja beralih ke metabolisme lemak juga akan menunjukkan tanda-tanda penyesuaian. Dan biasanya, tanda-tanda penyesuaian ini bukanlah sesuatu yang enak untuk dirasakan.
Ketika baru memasuki fase ketosis, beberapa orang mungkin akan merasakan demam, gatal-gatal, lemas, mual, hingga timbul jerawat.
Manfaat Diet Ketogenik
Mengikuti pola diet ketogenik dapat menyebabkan penurunan berat badan jangka pendek. Sebuah studi yang dilakukan pada tahun 2008 dan diterbitkan dalam American Journal of Clinical Nutrition menemukan bahwa pria obesitas mengikuti diet ketogenik selama 4 minggu kehilangan rata-rata 12 pon atau kurang lebih 6kg. Peserta mampu mengonsumsi lebih sedikit kalori tanpa merasa lapar saat mengikuti diet.
Menurut Mayo Clinic, diet ketogenik dapat memiliki efek sehat pada kondisi kesehatan yang serius seperti penyakit jantung, diabetes dan sindrom metabolik. Hal ini juga dapat meningkatkan kadar kolesterol HDL lebih baik daripada diet moderat karbohidrat lainnya.
Diet ketogenik juga telah digunakan di bawah pengawasan medis untuk mengurangi kejang pada anak dengan epilepsi yang tidak respon dengan bentuk terapi lainnya. Beberapa studi telah menyarankan bahwa diet ini juga bisa memberikan keuntungan pada orang dewasa yang menderita epilepsi, meskipun penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi temuan ini.
Namun, untuk pelaksaan jangka panjang diet ketogenik tidak menghasilkan manfaat yang besar. Sebuah review tahun 2014 tentang diet menemukan bahwa perbedaan antara diet ketogenik dan diet protein normal hanya sekitar 1 pon (sekitar 0,4 kg) setelah satu tahun.
Amankah Diet Keto bagi Ibu Hamil?
Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal BMC Pregnancy and Childbirth tahun 2013 dengan judul Effects of a Ketogenic Diet During Pregnancy on Embryonic Growth in the Mouse mengatakan bahwa diet keto bisa memengaruhi perkembangan embrio. Diet keto menimbulkan adanya gangguan fungsi organ dan berpotensi mengubah perilaku anak setelah lahir.
Penelitian diet keto saat hamil pada manusia termasuk sulit dilakukan dan berisiko, sehingga penelitian kebanyakan dilakukan pada tikus. Penelitian ini menganalisis bagaimana kondisi embrio tikus pada tikus yang diberikan diet tinggi lemak dan diet standar.
Hasilnya diketahui bahwa terdapat perbedaan ukuran embrio dan besar ukuran organ-organ tubuh di dalamnya. Perbedaan ukuran dari yang seharusnya ini, berpotensi memengaruhi fungsi dari organ-organ tersebut.
Diet keto membuat ukuran jantung janin tikus lebih besar, tapi ukuran otak, faring, sumsum tulang belakang, hipotalamus, bagian otak tengah, dan hati menjadi lebih kecil.
Baca juga: 4 Faktor Penyebab Pertumbuhan Janin Terhambat
Seorang doktor sekaligus asisten profesor dari Departemen Epidemiologi University of North Carolina, Tania Desrosiers, melakukan penelitian bersama koleganya baru-baru ini. Studi yang mereka lakukan mencoba mengulik hubungan diet rendah karbohidrat dengan cacat pada bayi baru lahir. Hasilnya cukup mengejutkan. Desrosiers dan kawannya-kawannya menemukan fakta bahwa diet rendah karbohidrat yang selama ini menjadi tren ternyata berefek buruk bagi kondisi janin.
Seorang ibu yang menjalankan diet karbohidrat selama kehamilannya 41% lebih berisiko memiliki bayi dengan neural tube defect (NTD). Apa itu NTD? Bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, NTD adalah cacat tabung saraf. Pada janin, tabung saraf adalah bagian tubuh yang akan membentuk organ penting, seperti otak, jantung, dan sumsum tulang belakang. Tabung saraf harus menutup agar janin mendapatkan organ tubuh yang sempurna.
Lantas, apa hubungannya diet keto dengan risiko cacat tabung saraf pada janin?
Saat melakukan diet keto, Bunda membatasi konsumsi karbohidrat dan konsumsi beberapa buah dan sayur tertentu. Saat melakukan pembatasan ini, Bunda sangat mungkin kekurangan asam folat. Kurangnya asam folat ini dapat memunculkan efek domino pada janin antara lain adalah tidak menutupnya tabung saraf.
Saat tabung saraf tidak menutup sempurna, pertumbuhan jantung dan sumsum tulang belakang pun jadi tidak sempurna. Salah satu tipe cacat tabung saraf yang paling umum adalah spina bifida, yakni tidak terbentuknya tulang belakang secara sempurna hingga bayi seolah memiliki kantung lunak di bagian punggungnya.
Menurut Desrosiers, kekurangan asam folat ini tidak bisa ditutupi dengan suplemen saja. Bunda benar-benar harus memenuhinya lewat konsumsi makanan sehari-hari. Karena kondisi ini, Bunda lebih baik menunda pelaksanaan diet keto ataupun diet karbohidrat lainnya selama masa kehamilan. Fokus saja memenuhi nutrisi yang dibutuhkan janin agar lahir sehat dan prima.
Karbohidrat sangat dibutuhkan oleh ibu hamil
Karbohidrat khususnya karbohidrat kompleks sangat diperlukan bagi ibu hamil, tentunya harus dalam jumlah yang sesuai setiap harinya. Dalam anjuran Kemenkes RI, salah satu syarat makan untuk ibu hamil adalah jumlah karbohidrat harus sebanyak 50-60 persen dari total energi hariannya. Karbohidrat ini yang menjadi sumber energi utama sekaligus sumber serat. Makanan berserat tinggi dari karbohidrat kompleks dapat membantu meringankan terjadinya sembelit, masalah yang umum terjadi pada masa kehamilan.
Baca juga: Ibu Hamil Mengalami Sembelit? Ini Cara Mengatasinya
Meskipun membutuhkan karbohidrat, bukan berarti Bunda bisa bebas makan makanan yang mengandung gula sederhana. Kue-kue kemasan, minuman manis, donat adalah contoh sumber makanan mengandung karbohidrat sederhana dan tinggi lemak jenuh.
Ketika hamil, janin memerlukan banyak nutrisi untuk pertumbuhannya. Sehingga, ada baiknya, diet atau pola makan apapun yang Bunda terapkan, dikonsultasikan terlebih dahulu kepada dokter Anda ya Bun.
Kehamilan
Memahami Perubahan pada Tubuh setelah Keguguran
Bunda mungkin ingat beberapa waktu lalu Chrissy Teigen, istri dari penulis lagu dan penyanyi John Legend, sempat berbagi cerita pengalamannya melalui keguguran via Instagram maupun Twitter. Dari kisahnya, kita jadi memahami bahwa keguguran bukanlah pengalaman yang mudah untuk dilalui, baik secara psikis maupun fisik. Efek keguguran pada fisik ibu bahkan bisa bertahan hingga berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan.
Bila Bunda adalah salah satu yang baru saja melalui momen berat itu, artikel ini mungkin bisa membantu Bunda memahami perubahan apa saja yang terjadi dan apa yang harus dilakukan karenanya.
Perubahan Fisik setelah Mengalami Keguguran
Di Indonesia, perempuan pekerja yang mengalami keguguran berhak mendapatkan cuti selama 1,5 bulan lamanya. Pemberian waktu istirahat ini bukan tanpa alasan. Selain kondisi emosional yang butuh waktu untuk pulih, kondisi fisik Bunda setelah mengalami keguguran pun akan terasa sangat berbeda.
Dilansir dari Parents.com, semakin lama Bunda mengalami kehamilan sebelum akhirnya keguguran, semakin banyak pula efek keguguran yang akan dirasakan tubuh. Hal paling mungkin yang Bunda rasakan adalah perubahan pada payudara dan kenaikan berat badan.
Jika Bunda mengalami kematian janin dalam kandungan atau intrauterine fetal death (IUFD) di mana usia kandungan sudah di atas 20 minggu, Bunda mungkin sudah merasakan penuh pada payudara karena ASI sudah mulai dipersiapkan. ASI yang semestinya diperuntukkan bagi bayi, kini tetap tinggal dalam payudara dan bisa menimbulkan rasa sakit.
Tak hanya itu, hal lainnya yang mungkin Bunda alami adalah timbulnya selulit, sakit pada perut, rambut rontok, hingga rasa sakit pada vagina. Rasa sakit pada vagina ini umumnya dirasakan oleh para bunda yang mendapatkan episiotomi (jahitan pada perineum) ketika proses mengeluarkan janin.
Bunda juga akan merasakan kram perut karena rahim yang berkontraksi untuk mengeluarkan sisa darah. Perdarahan yang lebih banyak dari menstruasi pun akan terjadi. Gumpalan darah pun mungkin akan turut keluar. Bagi Bunda yang sebelumnya pernah melahirkan, rasanya tidak akan jauh berbeda dengan masa nifas.
Efek keguguran pada tubuh ini bisa bertahan selama beberapa hari bahkan minggu tergantung lamanya kehamilan sebelum mengalami keguguran. Perdarahan yang dialami oleh perempuan saat keguguran di usia 6 minggu biasanya akan lebih sedikit dan singkat dibanding perdarahan pada keguguran di usia 16 minggu.
Kondisi Emosional yang Dialami
Selain perubahan fisik, perubahan emosional tak dapat dinafikan. Rasa bingung, sedih, bahkan bersalah, campur baur jadi satu. Dan rasa duka ini mungkin diperparah dengan kondisi hormon yang berubah tiba-tiba. Saat keguguran terjadi, hormon estrogen dan progesteron turun drastis. Hormon hCG pun pelan-pelan menurun hingga nol. Kondisi emosional yang sudah tak stabil akan bertambah buruk karena hal ini.
Bagaimana Menyelesaikannya?
Kondisi fisik yang melelahkan ditambah dengan kondisi emosional yang masih berduka mungkin membuat Bunda ingin menyendiri dan menjauh dari kehidupan sosial. Its okay, take your time. Namun, jika dirasa Bunda tak dapat menyelesaikannya sendiri, cobalah ungkapkan perasaan kepada orang terdekat yang membuat Bunda nyaman. Entah itu pasangan, orang tua, atau sahabat.
Tak perlu pula merasa bersalah jika Bunda ingin menerima bantuan sebanyak mungkin. Kondisi fisik yang belum sepenuhnya prima mungkin akan membuat Bunda kesulitan mengerjakan pekerjaan rumah. Jika sahabat ataupun saudara menawarkan bantuan, terimalah selama Bunda merasa nyaman.
Jika bercerita dengan orang terdekat belum juga mendamaikan hati Bunda, Bunda bisa meminta bantuan profesional, seperti terapis, psikolog, ataupun psikiater. Bergabung dalam support group pun terkadang bisa membantu. Namun, pastikan support group yang Bunda ikuti diampu oleh seorang tenaga ahli, ya.
Kehamilan
Simak! Ini Dampak Pandemi bagi Ibu Hamil dan Bayi
Pandemi Covid-19 berdampak pada kita semua. Namun, tahukah, Bunda, bahwa pandemi ini memiliki konsekuensi tersendiri bagi ibu hamil dan ibu yang baru melahirkan? Begitu pun pada bayi yang baru lahir.
Risiko selama Kehamilan
Dilansir dari mayoclinic.org, risiko penularan Covid-19 pada ibu hamil berada pada level rendah. Namun, kehamilan meningkatkan risiko komplikasi serius pada bumil yang menderita Covid-19. Menurut Centers for Disease Control and Prevention, ibu hamil dengan Covid-19 lebih berpotensi mengalami masalah pernapasan yang membutuhkan penanganan intensif dibanding pasien yang tidak dalam keadaan hamil. Ibu hamil dengan Covid-19 juga lebih mungkin membutuhkan ventilator.
Sebuah studi dari para peneliti di University of Jordan menunjukkan sisi lain dampak pandemi bagi ibu hamil. Penelitian yang dilakukan pada sekitar 900 orang ibu hamil ini menunjukkan bahwa ada penurunan jumlah pemeriksaan kehamilan yang signifikan. Hanya 4% ibu hamil yang menerima pemeriksaan kehamilan selama lockdown. Padahal, ibu hamil saat pandemi sangat membutuhkan pemeriksaan kehamilan tepat waktu dan berkualitas demi kesehatan bayi yang dikandung.
Di Indonesia sendiri, Bunda bisa melakukan pemeriksaan kehamilan di bidan yang tentunya lebih dekat dari rumah dan lebih kecil kemungkinannya berkontak dengan pasien lain. Cara ini bisa membuat Bunda tetap mendapatkan pemeriksaan kehamilan meski PSBB diberlakukan. Risiko penularan Covid-19 pun lebih rendah. Dengan catatan, kehamilan Bunda tidak berisiko dan tidak memiliki komplikasi serius ya. Kehamilan dengan risiko sebaiknya langsung diperiksakan ke dokter kandungan.
Persalinan di Tengah Pandemi
Ibu yang hamil saat pandemi berpotensi besar juga melahirkan di kala pandemi. Hal ini bisa menjadi kerugian tersendiri. Mengapa?
Di masa pandemi, mayoritas faskes hanya memperbolehkan satu pendamping selama persalinan dan selama di ruang perawatan, beberapa faskes bahkan tidak memperbolehkan adanya pendamping sama sekali kala proses melahirkan. Padahal, ibu baru membutuhkan dukungan sebanyak yang diperlukan. Rasa lelah setelah melahirkan ditambah adaptasi dengan kehadiran bayi kadang membuat ibu baru kewalahan. Belum lagi ancaman baby blues yang bisa berkembang menjadi depresi pasca persalinan bila rasa sedih dan stres tinggal berlarut-larut. Angka depresi pasca persalinan sendiri meningkat selama pandemi, loh.
Dampak Pandemi bagi Bayi yang Baru Lahir
Tak hanya bagi Bunda, pandemi juga memiliki dampak sendiri bagi bayi. Sistem imun yang belum sempurna membuat bayi rentan tertular Covid-19, apalagi anak di bawah usia 2 tahun tidak diperbolehkan menggunakan masker karena khawatir mengganggu jalannya pernapasan.
Belum lagi jika ada anggota keluarga yang kekeuh ingin menjenguk si kecil di tengah pandemi, risikonya pasti akan berlipat. Sulit pasti menerapkan protokol pada keluarga sendiri, tapi tetap dicoba ya, Bun. Mintalah keluarga yang menjenguk mengenakan masker baru ketika berada di dekat si kecil.
Bagi bayi yang orang tuanya terinfeksi Covid-19, ada kerugian lain yang akan dialami. Biasanya, bayi akan dipisahkan dari ibunya dan tidak bisa dirawat gabung demi mencegah penularan. Ini akan mengurangi peluang bayi untuk melakukan skin to skin contact dengan sang bunda. Pada beberapa kasus, ada pula kemungkinan bayi diperbolehkan pulang terlebih dulu dari rumah sakit, sementara sang ibu masih dirawat, sehingga proses menyusui langsung tidak bisa dilakukan dengan optimal.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Untuk meminimalisasi risiko penularan Covid-19 bagi Bunda yang tengah hamil dan keluarga, hal yang bisa dilakukan adalah mematuhi protokol kesehatan. Hindari bepergian ke luar rumah kecuali ada kebutuhan mendesak. Kalaupun harus ke luar rumah, selalu gunakan masker dan jaga jarak. Minta pula orang-orang yang tinggal serumah melakukan hal yang sama. Jangan lupa cuci tangan dengan air mengalir dan sabun sebelum menyentuh wajah atau makan/minum. Konsumsi gizi seimbang agar daya tahan tubuh terjaga.
Yang terpenting tetap semangat ya, Bun. Semoga senantiasa sehat!
Kehamilan
Pertanyaan seputar Vaksin Covid-19 untuk Ibu Hamil dan Menyusui
Vaksinasi Covid-19 terus digencarkan pemerintah untuk mencapai kekebalan komunitas atau herd immunity. Di tengah program yang terus bergulir, banyak juga pertanyaan terkait keamanan dan efektivitas vaksin, salah satunya untuk ibu hamil dan menyusui.
Berikut ini Ibu Sehati merangkumkan beberapa pertanyaan yang kerap muncul mengenai kaitan vaksin Covid-19 dengan ibu hamil dan menyusui. Yuk, disimak.
Bagaimana cara kerja vaksin Covid-19?
Tujuan vaksin adalah agar penerima dapat memiliki kekebalan terhadap suatu penyakit. Untuk Covid-19 itu sendiri, yang menjadi penyebabnya adalah virus SARS CoV-2. Melalui vaksinasi tubuh kita berkenalan dengan virus tersebut. Setelah dikenali, diharapkan tubuh dapat membangun sistem kekebalan untuk melawan virus tersebut. Mereka yang belum menerima vaksin, tubuhnya tidak mengenali virus dan tidak tahu cara melawannya. Itu sebabnya, mereka yang tidak menerima vaksin, dapat jatuh sakit karena tubuh tidak memiliki bekal untuk melawan infeksi yang disebabkan oleh virus.
Akan tetapi, kekebalan tubuh itu tidak datang secara serta-merta. Diperlukan waktu bagi vaksin untuk dapat bekerja maksimal. Vaksin SInovac yang digunakan di Indonesia, misalnya, diperlukan dua kali suntikan dengan jarak antara 28 hingga 40 hari.
Apakah janin bisa mengidap Covid-19 jika ibu hamil menerima vaksin Covid-19?
Melalui vaksinasi Covid-19, bayi dalam kandungan ibu tidak akan terpapar virus. Virus Covid-19 itu sendiri terbuat dari satu protein yang tidak akan bereplikasi di dalam tubuh manusia. Selain tidak menyebabkan seorang yang divaksin menjadi positif Covid-19, begitupun janin dalam perut ibu hamil.
Apakah vaksin Covid-19 aman untuk ibu hamil dan menyusui?
Dalam situasi darurat, uji klinis vaksin tidak akan melibatkan ibu hamil. Itu sebabnya, hingga sekarang tidak ada angka efikasi maupun keamanan vaksin bagi ibu hamil. Dari semua vaksin Covid-19 yang beredar saat ini pun tidak ada yang melibatkan ibu menyusui dalam uji klinisnya.
Namun, vaksin dari jenis mRNA yang tidak diaktifkan, sehingga tidak dapat bereplikasi dibandingkan vaksin lain dengan jenis yang sama seperti vaksin tetanus, difteri maupun influenza. Sehingga, secara umum vaksin jenis ini aman dan dapat memberikan perlindungan pasif untuk janin, serta tidak menyebabkan keguguran maupun kelainan kongenital.
Namun demikian, sejumlah badan dunia, organisasi profesi, lembaga kesehatan nasional maupun internasional seperti World Health Organisation (WHO) dan Persatuan Obstetri dan Ginekolog Indonesia (POGI) belum merekomendasikan vaksinasi Covid-19 untuk ibu hamil. Sebaliknya, vaksinasi bagi ibu menyusui diperbolehkan sepanjang tidak ada kontraindikasi.
Apakah perlu berhenti menyusui setelah divaksin?
Bayi akan mendapatkan segudang manfaat dari air susu ibu. Manfaat ASI bagi tumbuh kembang bayi begitu berlimpah, termasuk di dalamnya antibodi. Itu sebabnya, Bunda tidak perlu berhenti menyusui setelah menerima vaksin Covid-19. Bahkan bayi dapat menerima manfaat vaksin dari ASI Bunda.
Saya berencana menjalankan program hamil, apakah boleh divaksin?
Jika Bunda berencana menjalankan program kehamilan, sebaiknya tunda terlebih dahulu sampai mendapatkan vaksin Covid-19. Bunda dapat menjalankan program hamil paling lama 4 minggu setelah divaksin untuk menghindari Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI).
Saya tengah melaksanakan vaksinasi lain, apakah dapat menerima vaksin Covid-19?
Tergantung vaksinasi apa yang sedang dilaksanakan. Jika dari vaksinasi tersebut diharapkan angkat titer antibodi tinggi dalam waktu yang cepat, maka vaksinasi tersebut perlu diselesaikan terlebih dahulu. Sementara untuk pemberian vaksin yang bersifat booster atau penguat, dapat ditunda.
Apakah vaksin Covid-19 dapat menyebabkan kemandulan?
Tidak ada bukti bahwa vaksin Covid-19 menyebabkan kemandulan. Kabar ini sempat beredar Desember tahun lalu. Dikatakan bahwa kandungan yang ada pada vaksin bisa menyerang protein yang diperlukan untuk perkembangan plasenta. Akan tetapi, direktur WHO menepis kabar tersebut. Menurut situs Healthline, protein vaksin Covid-19 merupakan struktur yang sama sekali berbeda dari protein yang ada di plasenta. Sehingga, keduanya tidak berhubungan.
-
Kehamilan4 years ago
Bun, Ini Prosedur Periksa Kehamilan dengan BPJS yang Perlu Diketahui!
-
Pasca4 years ago
Bagaimana Mengetahui Jahitan Kering Pasca Melahirkan Normal?
-
Kehamilan5 years ago
Bagaimana Jika Tinggi Fundus Uteri Kurang dari yang Seharusnya?
-
Kehamilan6 years ago
Bunda, Ini Pentingnya Menghitung Tinggi Fundus Pada Saat Hamil
-
Persalinan5 years ago
Ini yang Akan Bunda Alami Saat Melahirkan dengan Induksi
-
Kehamilan4 years ago
Adakah Gerakan Fisik Tertentu yang Bisa Menyebabkan Keguguran?
-
Kehamilan6 years ago
Ini Fakta Seputar Perut Hamil Bunda
-
Kehamilan6 years ago
5 Jenis Infeksi yang Menyebabkan Cacat Janin