fbpx
Connect with us

Cerita Ibu

Nur Yanayirah, Penyintas Depresi yang Membangun MotherHope Indonesia

Inilah kisah seorang ibu yang mampu mengalahkan postpartum depression hingga akhirnya membangun komunitas untuk membantu ibu lainnya.

mm

Published

on

Postpartum depression
Inilah kisah seorang ibu yang mampu mengalahkan postpartum depression hingga akhirnya membangun komunitas untuk membantu ibu lainnya.

Depresi kerap dialami ibu setelah melahirkan atau biasa disebut postpartum depression (depresi pasca melahirkan). Sayangnya, banyak orang yang belum memahami dan menyadari gejala dan dampak depresi. Beberapa bahkan menyangkal depresi sebagai sebuah kondisi klinis yang harus diobati. Efeknya, banyak ibu yang kemudian berjuang sendirian melawan stres, kecemasan, dan depresi dalam dirinya. Padahal, depresi bukanlah hal yang mudah dihadapi. Tanpa penanganan tepat, depresi dapat berakibat fatal.

Depresi setelah persalinan lebih dikenal dengan nama postpartum depression atau PPD. Menurut American Psychological Association, PPD biasanya ditandai dengan gangguan tidur dan nafsu makan, kelelahan, rasa bersalah, hingga pikiran untuk bunuh diri. Menghadapi PPD, apalagi tanpa dukungan orang-orang terdekat bukanlah hal mudah. Pengalaman ini dirasakan betul oleh Nur Yanayirah, pendiri MotherHope Indonesia.

Berawal dari Kehilangan Buah Hati

Titik awal depresi Nur Yanayirah dimulai saat ia merasakan pahitnya pengalaman kehilangan buah hati pada tahun 2011. Setelah menunggu kehadiran buah hati selama 4 tahun lamanya, perempuan yang akrab disapa Yana ini harus menghadapi kenyataan pahit: bayi pertamanya meninggal dalam kandungan. “Saat itu saya merasa sedih dan bersalah. Saya menganggap saya tidak bisa menjadi ibu yang baik dan tidak mampu menjaga kandungan,” ujar Yana.

Kehilangan bayi pertamanya ini pun meninggalkan trauma mendalam bagi Yana. Hingga akhirnya, ketika 5 bulan kemudian ia hamil lagi, perasaan panik dan takut lebih mendominasi hari-hari Yana ketimbang perasaan bahagia. “Yang saya rasakan hanya sedih dan ketakutan berlebihan. Saat pergi ke rumah sakit pun saya kerap terkena serangan panik. Saya takut melihat dokter, perawat, layar usg, dan darah,” kenang Yana. Pun, trauma ini terbawa hingga hari persalinan. Induksi yang menyakitkan dan traumatis dari persalinan sebelumnya, juga kondisi air ketuban yang sudah hampir habis mengharuskan Yana melahirkan secara sesar.

Stigma Persalinan Caesar

Berjuang menghadapi postpartum depression.

Yana pernah hampir bunuh diri karena tidak tahan menghadapi tekanan dari orang di sekitarnya.

Operasi caesar yang dilakukan Yana untuk melahirkan bayinya ternyata tidak hanya berdampak pada fisiknya. Stigma persalinan sesar yang kental melekat di keluarga besar Yana perlahan-lahan juga mempengaruhi kondisi mentalnya.

“Di keluarga besar saya, mayoritas melahirkan secara normal. Maka dari itu, ketika saya melahirkan secara caesar, banyak pertanyaan yang muncul dari anggota keluarga. Semua merasa aneh. Banyak stigma. Saya dibilang tidak mau usaha, tidak mau merasakan sakit, maunya enaknya aja, dibilang manja, lemah,” kisahnya. Alih-alih mengucapkan selamat saat menjenguknya, banyak anggota keluarga maupun teman yang justru menghakimi proses persalinannya.

Selain perkataan negatif dari orang-orang terdekat dan minimnya waktu istirahat setelah melahirkan, tekanan yang dialami Yana juga berasal dari persoalan ASI. Selepas melahirkan, Yana dan bayinya tidak bertemu selama 12 jam. Buah hatinya pun diberikan susu formula tanpa seizin Yana dan suami. Akibatnya, ketika Yana berusaha memberikan ASI kepada sang bayi, ia mengalami bingung puting dan tidak mau menyusu.

“Saya tidak merasa dekat dengan bayi ini karena terlalu banyak tekanan dari lingkungan. Badan saya juga sakit, meriang, dan gatal-gatal karena caesar. Belum lagi dengan pendapat orang. Saya merasa jadi ibu yang kurang sempurna. Banyak yang mengatakan saya gendut. Banyak juga yang bilang harus ini itu. Dan saya sendiri juga tidak ada waktu istirahat. Kewalahan, kecapekan, dan ASI pun tidak keluar karena tertekan,” ujar Yana.

Awal Mengetahui Depresi Hingga Menjalani Terapi

Empat puluh hari setelah melahirkan, Yana mengunjungi konselor laktasi untuk memeriksakan bayinya yang mengalami bingung puting. Dari situlah Yana tahu bahwa ia mungkin saja mengalami depresi. “Waktu itu dokter laktasi melihat saya aneh, bingung, takut, dan gemetar. Ialah yang berkata bahwa saya sepertinya mengalami baby blues syndrome atau bahkan depresi. Saya pun disarankan untuk pergi ke psikolog,” kisahnya.

Sayangnya, ketika Yana menyampaikan hal ini kepada keluarga, ia justru dianggap mengada-ada. “Saat saya bilang kepada keluarga bahwa kemungkinan saya depresi, saya malah dibilang lebai dan kemasukan jin. Kalau saya menangis, saya malah diperlakukan seperti kemasukan setan. Padahal, saya hanya ingin dimengerti dan istirahat. Waktu itu, suami saya juga belum paham soal depresi,” ujar Yana.

Puncak depresi Yana terjadi saat ia membawa bayinya yang berusia 9 bulan untuk terjun ke danau. Untungnya, ada seseorang yang menyelamatkannya dan kemudian menelepon suaminya. Dari situlah, sang suami mengerti bahwa istrinya perlu ditolong. “Suami saya kaget kenapa saya bisa begini. Dia bingung kenapa saya tidak sayang dengan anak. Bukan saya tidak sayang. Kalau berdekatan dengan anak, saya takut melukai dia,” ucap Yana.

Berangkat dari peristiwa itu, Yana dan suami pun mulai menghadiri pertemuan Komunitas Peduli Trauma dan menjalani terapi ke psikolog pernikahan. Jadi, baik Yana maupun suami sama-sama menjalani konsultasi dengan psikolog. “Dari konsultasi itu, barulah diberi pengertian oleh dokter kalau saya terkena depresi dan tidak mengada-ada, apalagi kemasukan jin. Suami saya pun mulai paham. Ia juga mulai bantu pekerjaan rumah tangga dan merawat anak. Lebih sabar juga,” ucap Yana.

Yana mengalami depresi dari tahun 2011 hingga tahun 2013. Pada tahun 2014-lah Yana sudah mulai berani keluar rumah dan kembali bertemu dengan teman-teman. Meski begitu, Yana tidak berhenti melakukan terapi. Hingga saat ini pun, Yana rutin mengikuti terapi lanjutan, minimal sebanyak lima kali dalam setahun. “Kalau ada trigger, ada kemungkinan depresi yang saya alami bisa kambuh lagi. Oleh karena itu, saya masih rutin menjalani terapi untuk menjaga kondisi,”katanya.

Mendirikan MotherHope Indonesia

Kegiatan MotherHope Indonesia mengatasi postpartum depression.
MotherHope Indonesia membantu ibu yang mengalami postpartum depression.

Berangkat dari pengalaman depresi yang ia alami, Yana tidak ingin ibu lainnya mengalami hal yang sama. Ia tak ingin para ibu yang mengalami baby blues syndrome ataupun PPD berjuang sendirian. Motivasi inilah yang kemudian mendorongnya untuk mendirikan MotherHope Indonesia pada 1 Februari 2015.

MotherHope Indonesia adalah organisasi nonprofit yang memberi dukungan sosial pada ibu dan keluarga yang mengalami baby blues syndrome, depresi, dan psikosis setelah melahirkan. Kegiatan utama organisasi ini adalah melakukan pendampingan baik secara daring maupun luring kepada ibu dan keluarganya. Dalam menjalankan program-programnya, MotherHope Indonesia dibantu oleh tenaga medis, seperti psikolog, bidan, hingga perawat.

Salah satu kegiatan yang rutin dilakukan oleh MotherHope Indonesia adalah menyelenggarakan support group di klinik atau rumah sakit. Kegiatan ini biasanya menghadirkan narasumber tenaga kesehatan seperti psikiater untuk membagi ilmu. “Kegiatan support group di rumah sakit biasanya menghadirkan narasumber tenaga kesehatan. Lalu, para ibu yang hadir bisa menceritakan pengalamannya. Diskusinya sengaja dibuat santai. Peserta duduk melingkar di bawah dan hanya dihadiri 5 atau 10 pasangan suami istri agar semua kebagian waktu untuk bercerita. Ibu yang hadir pun harus didampingi suami agar suami juga bisa mendengar dan mendampingi nantinya,” jelas Yana.

Selain kegiatan di rumah sakit, MotherHope Indonesia juga memiliki kegiatan daring, seperti kuliah WhatsApp dan webinar. Narasumber yang menyampaikan materi dapat berasal dari kalangan psikolog ataupun sesama penyintas depresi. Bagi Bunda yang berminat mengikuti kegiatan MotherHope Indonesia, Bunda dapat bergabung dengan grup Facebook MotherHope Indonesia untuk melihat jadwalnya.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Cerita Ibu

6 Hal Ini Seringkali Jadi Alasan Kenapa Bunda Kangen Menyusui

mm

Published

on

kangen menyusui

Menyusui nggak hanya bermanfaat, tapi juga ngangenin. Coba saja tanyakan hal ini kepada ibu-ibu “pensiunan menyusui”, mungkin Bunda akan melihat banyak anggukan kepala tanda setuju.

Rasa rindu ini datang karena biasanya Bunda, termasuk saya, begitu menikmati masa-masa ini. Walaupun pada awalnya, apalagi dengan segala dramanya, menyusui bukanlah hal yang terlalu menyenangkan bagi saya. Apalagi dengan anak pertama yang sempat diwarnai bingung puting dan rasa kegagalan menjadi ibu karena sempat menambahkan sufor demi memenuhi kebutuhan nutrisinya.

Sekarang, dengan total jam terbang lebih dari 35.040 jam alias 1460 hari atau 4 tahun lebih untuk dua orang anak, saya kangen menyusui. Ini akan terlihat dari mimik muka saya saat melihat ibu yang menyusui bayinya walaupun itu sekadar foto (seperti saat saya memilih foto untuk artikel ini).

Rasa rindu itu tidak bisa ditolak karena menyusui memang begitu menyenangkan dengan berbagai alasan. Beberapa di antaranya yang saya jabarkan di sini.

Zat Penenang Paling Ampuh

…barangkali lebih ampuh dari NAPZA. Terlalu berlebihan? Oh, nggak sama sekali, sistur. Pernah lihat hashtags #breastmilkdrunk di instagram? Well, seperti itulah muka anak bayi saat terpuaskan dengan ASI. Dan ASI siapakah itu? ASI saya. Duh, bangga bisa buat dia tenang seperti itu dengan air bernutrisi yang diproduksi tubuh sendiri. 

Alhasil, menyusui menjadi solusi ampuh saat si kecil rewel, karena hal apapun. Entah itu mengantuk, kurang nyaman dengan kondisi sekitar, dan tentu saja lapar. Enyahlah suara tangisan dan rengekan bayi begitu Bunda menyodorkan ASI ke mulutnya. Menidurkan bayi pun bukan perkara sulit dengan “amunisi” ASI di payudara kanan-kiri. 

Oh, Halo Prolaktin dan Oksitosin

Salah satu hal positif yang terjadi pada tubuh saat kita menyusui adalah kehadiran dua biokimia alias hormon ini. Bisa dibilang kalau kedua hormon ini adalah hormon cinta dan kebahagiaan. Kehadirannya membantu meningkatkan produksi ASI. Bila Bunda merasa kebahagiaan meluap-luap saat menyusui sambil memandang wajah si kecil, bisa dipastikan produksi hormon ini sedang deras-derasnya mengalir dalam tubuh.

Ada buktinya loh, Bun. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa meningkatnya kadar prolaktin dalam tubuh, dapat menimbulkan berbagai perasaan positif. Utamanya, kemampuan diri dalam mengatasi stres, termasuk juga mengurangi kecemasan dan depresi. 

Bisa Makan Apa Saja, Tapi Berat Badan Tetap Berkurang 

Ah, ini dia yang amat-sangat bikin kangen menyusui (sambil menatap nanar jarum timbangan yang gerak ke kanan). Saat menyusui, kita bisa bebas mengonsumsi makanan, tanpa harus repot menghitung kalori. Setidaknya, itu yang terjadi pada saya. Dan nyatanya, menyusui memang membuat perut sebentar-sebentar nagih minta diisi.

Tahukah Bunda, ternyata menyusui memang menghabiskan banyak kalori. Bisa tebak berapa? Yak, setidaknya 500 kalori sehari (ini saat bayi masih eksklusif menyusui ASI)! Mencengangkan bukan? Angka itu setara dengan melakukan aquarobik selama 2 JAM* dan pilates selama 2,5 JAM* saja ibu-ibu! Supaya Bunda semua semakin tercengang dengan berapa banyak aktivitas yang harus dikerjakan untuk membakar 500 kalori, silakan simak tabel di bawah ini: 

Sumber: https://breakingmuscle.com/fitness/20-ways-to-burn-500-calories

Saat Itu, Dunia Serasa Milik Berdua

Menyusui, terutama di waktu-waktu sepi, terasa seperti proses meditasi. Si kecil fokus pada Anda, dan ASI yang ia minum. Dan Bunda pun merengkuh keberadaannya dalam lingkupan tangan Bunda, sambil menatap matanya. Saat itu pula Bunda berpikir tentang masa depannya nanti, berdoa kepada semesta untuk memberikan yang terbaik baginya, dan meminta kepada yang kuasa untuk selalu melindunginya.

Momen itu, rasanya tidak ada hal lain yang (lebih) penting. Hanya Anda dan si buah hati… Yah, kecuali Bunda brexting. 🙂

Tangannya yang Sibuk Bergerilya

Pada tahapan apapun, masa menyusui merupakan saat si kecil untuk berekspresi dengan gerakan tangannya. Entah saat ia baru lahir, ketika telapak tangan mungilnya melingkar di telunjuk Bunda. Atau ketika ia sudah cukup besar dan kuat untuk menepuk-nepuk muka Bunda atau menarik-narik rambut Bunda. Ouch! Tapi itulah yang ngangenin. Bahkan sampai sekarang, meski sudah tidak menyusui, rambut saya masih menjadi ‘mainan’ favoritnya.

Ekspresinya Saat Anda Menyodorkan ASI

Wah, ini tentu saja tidak bisa dilupakan. Baru ambil posisi menyusui–bahkan jari Anda belum juga membuka kancing kemeja–Anda bisa merasakan antusiasmenya. “Oh, yes… sebentar lagi aku akan bertemu ASI.” Matanya menyala, bibirnya membuka, dan kakinya menendang-nendang.

Dan antusiasme itu akan semakin terasa saat ia akhirnya mencecap ASI… sampai-sampai terlalu antusias dan menyusui sambil bersuara. Lucunya, saya tidak menganggap itu menyeramkan sama sekali. Bagi saya hal itu begitu menggelikan dan bikin kangen!

Ah, menyusui… Ingin rasanya mengulangi, tapi kok malas hamil lagi! 

*untuk ibu dengan berat badan 54.5 kg

Continue Reading

Cerita Ibu

Raden Prisya: Melawan Postpartum Depression Demi Buah Hati

mm

Published

on

cerita postpartum depression

Postpartum depression kerap mengintai para ibu setelah melahirkan. Sayangnya, tidak semua ibu yang mengalami hal ini menyadari gejalanya hingga depresi pascamelahirkan telanjur parah. Inilah yang pada mulanya dirasakan oleh Raden Prisya, founder Matroishka. Ia sempat lari dan mengabaikan kenyataan bahwa postpartum depression mengentaknya dengan keras. Hingga akhirnya, ia berdamai dengan dirinya, mengakui depresi yang menyerangnya, dan mulai berbenah.

Inilah perjalanan Raden Prisya melawan postpartum depression yang ia kisahkan kepada kami.

Merasa Bagai Robot

Di hari-hari awalnya sebagai ibu, perempuan yang akrab disapa Prisya ini mengaku melakukan segalanya bagai robot. Berbagai aktivitas ia jalani layaknya sudah ditanamkan mode autopilot. Mulai dari mengurus anak, makan, hingga memilih baju; segalanya dilakukan otomatis saja tanpa diresapi maknanya.

“Saat bercermin, saya merasa tidak tahu siapa diri saya. Sebenarnya ini lumrah dirasakan ibu baru. Redefine. Mendefinisikan kembali dirinya karena peran baru sebagai ibu. Namun, di sisi lain saya juga merasa bersalah karena menganggap diri tidak bisa merawat anak dengan baik,” ujarnya.

Di samping merasa bagai robot, Prisya juga sangat ketakutan pulang ke rumah. Ia kerap lebih memilih “hibernasi” dan menghindari memegang anak. “Bukan saya tidak ingin mengurus anak-anak, tapi saya takut. Takut tidak bisa merawat mereka dengan baik,” tutur Prisya,”Saya juga sering merasa ngawang. Tubuh ada di sini, tapi saya bertanya-tanya apa benar ruh saya ada di sini.”

Karier sebagai Pelarian

Prisya melahirkan anak pertamanya pada bulan Mei tahun 2012 dan mendirikan Matroishka pada November, 2012. “Saya mendirikan Matroishka setelah melahirkan. Dan Matroishka ini adalah pelarian saya. Saya tidak berani menghadapi masalah di rumah. Matroishka saya gunakan untuk mendistraksi diri saya agar ada hal lain yang dilakukan,” kata Prisya.

Dengan peran barunya sebagai pemimpin Matroishka, Prisya pun kerap menyibukkan dirinya dengan bekerja dan meeting hingga larut malam. Hal ini sengaja ia lakukan untuk menghindari pertemuan dengan buah hati di rumah. “Saya sengaja pulang larut malam agar ketika saya pulang, suami sudah pulang. Dengan begitu, saya tidak sendirian menghadapi anak di rumah,” tutur Prisya.

Turning Point

Pelarian diri Prisya kepada karier berefek kepada bonding-nya dengan buah hati. “Bonding saya dengan anak minim. Saya mengurus anak ya sudah sebagai kewajiban saja. Yang penting ia makan dan minum dengan cukup. Sudah,” ujar Prisya.

Hal ini kemudian diperparah dengan kelahiran anak kedua. Kala itu, Prisya berpikir, kalau memang merawat anak sebegitu melelahkannya, maka sekalian saja capeknya. Di tengah usia si kakak yang baru mulai tantrum, sekitar dua tahun, lahirlah sang adik. “Saat hamil anak kedua rasanya flat saja. Begitu dia lahir, baru terasa beratnya. Saya sampai bilang ke suami,’Ini anak-anak lebih baik gue tinggal aja. Kalau sama gue rasanya gak bakal bener.’,” kisah Prisya.

Ketidakdekatan Prisya dengan anak rupanya tak hanya berefek pada Prisya, sang anak pun terkena imbasnya. “Karena tidak dekat dengan ibunya, anak saya mengalami speech delay. Saat itu dia sudah bisa merasakan emosi, tapi dia tidak bisa mengungkapkannya. Kami juga tidak memahami apa yang dia rasakan. Komunikasi jadi kacau,” ungkap Prisya.

Hampir bersamaan dengan momen ini, tepat di tahun keempatnya menjadi ibu, Prisya bertemu dengan ibu lain yang mengalami PPD dan psikolog. “Mereka memberi sinyal bahwa saya perlu penanganan lebih lanjut,” katanya,”dari situlah saya mulai bertemu dengan profesional. Saya tidak langsung membuka diri. Setelah beberapa kali bertemu dan ngobrol dengan psikolog serta suami, barulah saya sadar bahwa saya terkena PPD.”

Yap, Prisya sempat mengalami masa-masa penyangkalan. Ia tidak ingin mengakui bahwa dirinya mengalami PPD. “Ada hal yang bisa memotivasi seseorang untuk keluar dari depresi. Salah satunya adalah karena orang itu tidak ingin sesuatu hal terjadi kepadanya. Dan bagi saya, hal itu adalah persoalan speech delay anak saya. Saya tidak ingin speech delay anak saya berkelanjutan. Saya ingin jadi orang yang lebih baik,” ujar Prisya.

Self Healing

Saat Prisya memutuskan untuk melawan depresinya, ia mengawali dengan sharing ke orang-orang terdekat. “Saya akhirnya berani mengatasi masalah ini dan sadar bahwa saya tidak perlu lari. Penyelesaiannya diawali dengan sharing, entah dengan psikolog atau orang terdekat. Saya juga aktif sharing di Instagram dan ternyata banyak ibu mengalami hal yang sama. Ini pun jadi ajang bersyukur buat saya bahwa ternyata yang saya alami tidak sebanding dengan yang dialami orang lain. Saya juga mendekat kepada Allah dan mulai banyak belajar agama,” kisahnya.

Selain membuka diri, keputusan besar lainnya yang Prisya ambil saat itu adalah menutup Matroishka. Ia akhirnya memilih fokus untuk merawat kedua buah hatinya.

“Setelah membuka diri dan mengikuti berbagai pelatihan, seperti mindfulness, akhirnya saya membaik. Saya juga menutup Matroishka agar fokus. Saya tahu saya telah bebas dari depresi ketika saya sudah percaya diri dengan status saya sebagai seorang ibu. Saya pun berani memegang anak saya sendiri, tanpa bantuan nanny. Yang perlu saya tegaskan adalah tidak semua orang harus merawat anak tanpa bantuan nanny, tapi saya lebih memilih demikian agar lebih dekat dengan anak,” ungkap Prisya. Prisya pun menyekolahkan buah hatinya ke sekolah berbasis neuroscience untuk membantu mengatasi speech delay-nya.

Bagi para ibu yang mengalami PPD di luar sana, Prisya berpesan untuk tidak terlalu mengacuhkan pendapat orang lain. “Tidak perlu memikirkan kata orang. Orang lain tidak paham apa yang kita lalui. Perkuat saja fondasi self concept dan self esteem kita,” pungkasnya.

Itulah kisah Raden Prisya dalam perjalanannya melawan postpartum depression. Masih banyak informasi menarik lainnya yang  bisa Bunda dapatkan dengan follow dan like Facebook dan Instagram Sehati.

Continue Reading

Cerita Ibu

Ashtra Dymach: Bertekad Memberi Dukungan yang Ibu Butuhkan

mm

Published

on

postpartum doula
Postpartum doula mendampingi ibu selepas persalinan.

Dukungan psikis dan emosional tidak hanya dibutuhkan ibu selama menjalani kehamilannya. Setelah melahirkan pun, para ibu tetap membutuhkan sokongan dari orang-orang terdekat. Bila ini tak terpenuhi, baby blues serta postpartum depression akan rentan menghampiri.

Bercermin dari pengalamannya, Ashtra Ashri Dymach menyadari betul kebutuhan tadi. Berawal dari keinginan berbagi cerita mengenai perjalanan kehamilan dan persalinan yang ia alami, Ashtra akhirnya mendirikan Komunitas Halo Ibu. Tak hanya itu, ia pun mantap menekuni profesi sebagai postpartum doula kini.

Inilah sekelumit perbincangan kami dengan Ashtra mengenai perjalanannya.

Berawal dari Pengalaman Sendiri

Bagi beberapa orang, kehamilan pertama bukan pengalaman mudah. Begitu pun dengan Ashtra. Namun, bagi Ashtra, rintangan kehamilan pertamanya bukanlah persoalan fisik, melainkan persoalan psikis.

Married by accident, bukan hal mudah bagi keluarga Ashtra dan suami untuk menerimanya. Alhasil, kehamilan pertama Ashtra nyaris tanpa dukungan, baik dari keluarganya sendiri maupun dari keluarga pasangannya.

“Saat hamil anak pertama, saya tidak mendapat dukungan dari ibu maupun ibu mertua. Saya juga tidak punya support group karena teman-teman sebaya saat itu, sekitar umur 23-24 tahun, kebanyakan belum menikah dan masih mengejar karier. Saya tidak mendapatkan dukungan yang dibutuhkan,” ucap Ashtra.

Pertemuan dengan Robin Lim

Ashtra Dymach
Ashtra Dymach, penggagas Halo Ibu (Instagram @ashtradymach)

Selama kehamilan pertamanya, Ashtra mengaku tidak mendapat kedamaian yang ia cari. Sampai akhirnya ia menemukan metode persalinan dengan cara gentle birth. Sayangnya, seperti yang ia kisahkan pula di situs Haloibu.id, tidak ada rumah sakit di Jakarta yang bisa memberikan cukup informasi tentang gentle birth.

Pencarian Ashtra perihal gentle birth akhirnya bermuara di Banjar Nyuh Kuning, Ubud, tempat Yayasan Bumi Sehat berdiri. “Saya bertemu dengan Ibu Robin Lim di sana. Saat bertemu beliau, saya langsung dipeluk dan dicium. Di situlah saya benar-benar menangis dan sangat merasa dihargai. This is it, inilah yang seharusnya dirasakan oleh semua ibu hamil,” kenang Ashtra.

Di Yayasan Bumi Sehat, Ashtra juga sempat menyaksikan proses persalinan dengan metode gentle birth. Dari situlah ia mulai mendapat gambaran tentang metode persalinan yang minim trauma. Sepulangnya ke Jakarta, Ashtra pun banyak mencari informasi tentang persalinan gentle birth hingga akhirnya memutuskan untuk melahirkan di rumah.

“Sesampainya kembali di Jakarta, saya mencari banyak informasi lagi tentang metode gentle birth. Saya pun bertemu dengan ibu Lanny Kuswandi yang menekuni hypnobirthing dan berprofesi sebagai doula hingga akhirnya saya memutuskan untuk melahirkan di rumah. Persalinan saya dibantu oleh Bidan Erie Marjoko dan doula. Kelahiran anak saya ditangkap sendiri oleh suami saya,” kisah Ashtra.

Menggagas Halo Ibu

Setelah melahirkan, Ashtra sempat merasakan kesedihan yang kemudian ia kenali sebagai baby blues. Saat itu, Ashtra kesulitan mengenali apa yang ia rasakan. Selain memang karena baru pengalaman pertama melahirkan, minimnya akses ke psikolog menjadi penyebabnya.

Ashtra yang dulunya berprofesi sebagai jurnalis kemudian berinisiatif mewawancarai teman-teman terdekatnya, siapa tahu mereka memiliki pengalaman yang sama. Dari sinilah, Ashtra kemudian berhasil mengenali apa yang dia rasakan. “Dari mewawancarai teman itulah saya baru menyadari, oh mungkin ini yang saya rasakan. Baby blues,” ujar Ashtra.

Mendapat respons positif dari para pengikutnya di kanal YouTube, Ashtra pun semakin giat berbagi konten-konten positif seputar ibu. Hingga akhirnya, setelah si kecil berusia 3 tahun dan mendapat izin dari suami, Ashtra pun fokus menjalankan komunitas Halo Ibu.

      Salah satu sesi Lingkaran Ibu (Instagram @haloibu.id)

Selain membagikan tulisan di blog, Ashtra bersama Halo Ibu juga kerap mengadakan kegiatan luring (offline). Salah satu aktivitas yang rutin mereka selenggarakan bernama Lingkaran Ibu. Lingkaran Ibu dapat disebut sebagai wadah support group bagi para ibu yang membutuhkan dukungan psikologis. Dalam sekali sesi, peserta Lingkaran Ibu berjumlah kisaran sepuluh orang.

“Tujuannya agar semua ibu dapat kesempatan untuk bercerita. Kami pun selalu bertepuk tangan saat setiap ibu selesai bercerita. Bila ada ibu yang perlu dipeluk, kami akan peluk. Kami berikan dukungan. Rasanya luar biasa ketika sesama perempuan saling mendukung,” kisah Ashtra.

Beri Dukungan Lewat Profesi Postpartum Doula

Selain lewat komunitas Halo Ibu, dukungan yang diberikan Ashtra untuk para ibu lainnya adalah lewat profesinya sebagai seorang postpartum doula. “Dari apa yang saya alami selama kehamilan, saya merasa setiap perempuan pantas mendapat perlakuan spesial dan diistimewakan selama kehamilan. Itulah mengapa saya ingin menjadi doula. Jika ditarik dari bahasa aslinya, Yunani, doula adalah servant. Woman serving other woman. Melayani ini bisa dalam hal apa saja, termasuk menemani dan mendengarkannya bercerita setelah melahirkan,” tutur Ashtra.

Menurut Ashtra, selepas melahirkan, seorang ibu membutuhkan ruang untuk bercerita karena ada proses perubahan peran yang mereka alami. “Setelah melahirkan dan tidak lagi hamil, adalah hal yang wajar jika ibu bersedih. Sebab ada yang hilang dari dirinya (yang biasa ia bawa selama 9 bulan). Setelah melahirkan anak kedua, saya pun masih merasakan kesedihan itu. Tidak apa, ini adalah proses. Maka dari itu, selama fase ini, ibu membutuhkan dukungan,” jelasnya.

Ashtra mendapatkan sertifikasinya sebagai seorang doula dari DONA International (Doula Training & Doula Certification). Selain mendampingi ibu secara personal, ilmunya sebagai seorang doula kerap Ashtra bagikan saat sesi Lingkaran Ibu.

Itulah kisah Ashtra Dymach dalam perjalanannya mendirikan Halo Ibu dan menjadi seorang postpartum doula. Masih banyak informasi menarik lainnya yang  bisa Bunda dapatkan dengan follow dan like Facebook dan Instagram Sehati.

Continue Reading

Trending