fbpx
Connect with us

Kehamilan

Ini Tes dan Pengobatan yang Perlu Dilakukan untuk Keguguran Berulang

mm

Published

on

keguguran berulang
Keguguran berulang pada ibu hamil perlu diselidiki penyebabnya, agar dapat ditangani dengan tepat.

Keguguran bukanlah hal yang mudah diterima. Apalagi jika kehadiran bayi sudah dinanti-nanti oleh ibu dan ayah. Belum lagi jika keguguran tersebut terjadi berulang kali. 

Apa yang dimaksud dengan keguguran berulang? Keguguran berulang adalah keguguran yang terjadi tiga kali atau lebih, secara berturut-turut. Keguguran berulang ini terjadi pada satu dari seratus pasangan yang ingin memiliki bayi. Terkadang penyebabnya dapat segera diketahui, walau kadang juga tidak. Yang jelas, jika hal ini terjadi pada Bunda, ada beberapa tes dan pengobatan yang perlu dilakukan. 

Penyebab Keguguran Berulang

Lebih dari 60 persen keguguran terjadi karena adanya kelainan kromosomal, yaitu ketika embrio menerima kromosom dalam jumlah yang abnormal selama proses pembuahan. Hal ini dikategorikan sebagai masalah genetik yang kejadiannya sulit dihindari, tanpa adanya kondisi medis yang melatarbelakanginya. Risiko ini meningkat seiring bertambahnya usia perempuan. 

Baca juga: Ini Serba-serbi Keguguran yang Perlu Bunda Tahu

Beberapa pasangan mungkin akan mengalami keguguran berulang jika salah satu dari pasangan ini  mengalami translokasi kromosom. Kondisi ini biasanya tidak memiliki tanda atau gejala; akan tetapi pada orang yang memiliki kelainan ini, telur atau sperma yang dimiliki akan memiliki jumlah kromosom yang berbeda dengan orang secara umum; bisa kurang atau lebih. 

Keguguran berulang juga bisa terjadi karena adanya masalah kesehatan. Misalnya, gangguan autoimun yang dikenal dengan antiphospholipid syndrome (APS). Pada kondisi ini, sistem imunitas tubuh menghasilkan antibodi yang salah satu dampaknya adalah membuat darah menjadi lebih kental. Kekentalan darah membuat alirannya tersendat dan suplai oksigen serta nutrisi ke janin tidak mencukupi. Pada akhirnya janin akan mengalami pertumbuhan tersendat dan bahkan tidak berkembang. 

Diabetes atau kencing manis juga bisa berkontribusi sebagai salah satu penyebab keguguran berulang. Kadar glukosa atau gula darah yang tinggi, utamanya jika penyakit ini tidak dikontrol dengan baik, bisa membahayakan janin. 

Polycystic ovary syndrome (PCOS) merupakan salah satu kondisi medis yang meningkatkan risiko kejadian keguguran berulang. Gangguan pada hormon, seperti hyperprolactinemia dan thyroid (hypothyroidism dan thyroiditis) juga bisa meningkatkan risiko terjadinya keguguran berulang. 

Keguguran berulang juga bisa disebabkan oleh ketidaknormalan organ reproduktif. Misalnya kondisi rahim yang tidak normal. Begitupun gaya hidup dan kondisi lingkungan bisa membuat keguguran terjadi berulang. Misalnya perempuan yang merokok dan minum alkohol yang biasanya berpotensi mengandung janin yang tidak berkembang yang akhirnya berujung pada keguguran. Bekerja di lingkungan yang terpapar bahan kimia berbahaya juga bisa meningkatkan risiko keguguran. 

Tes yang Akan Dianjurkan oleh Dokter

Setelah mengalami keguguran, dokter akan merekomendasikan tes untuk mengetahui penyebabnya. Tes tersebut biasanya berupa pemeriksaan fisik lengkap, termasuk pemeriksaan dalam. Pemeriksaan juga bisa dilakukan dengan USG transvaginal untuk melihat adanya kejanggalan rahim, saluran indung telur, dan indung telur. 

Pada pasien yang mengalami keguguran berulang, dokter mungkin akan menyarankan pemeriksaan lanjutan. Untuk melihat ada tidaknya kondisi kesehatan yang mendasari keguguran ini, dokter akan melakukan pemeriksaan darah. Salah satu tes tersebut adalah untuk mengetahui kadar hormon, terutama yang berperan dalam menentukan kemampuan tubuh perempuan dalam mengandung janin, yaitu prolaktin, tiroid, dan progesteron.

Bunda juga akan melalui pemeriksaan antibodi untuk mendeteksi adanya sistem kekebalan tubuh yang tidak normal. Selain itu, dokter juga akan mengecek apakah Bunda mengidap diabetes. Kondisi yang dikenal dengan penyakit gula ini jika tidak terkontrol dapat meningkatkan risiko terjadinya keguguran. 

Jika dokter menduga kondisi genetis jadi penyebab keguguran berulang ini, maka akan dilakukan pemeriksaan kariotipe untuk memetakan kromosom Anda dan melakukan analisa untuk mendiagnosa adanya kelainan genetis. Tes ini biasanya menjadi pilihan terakhir dan akan melibatkan pasangan demi melihat asal muasalnya. 

Penanganan Keguguran Berulang

Keguguran yang terjadi lebih dari 3 kali dapat ditangani jika penyebabnya sudah diketahui. Misalnya bedah dapat dilakukan untuk memperbaiki saluran rahim yang tidak mendukung atau jika ada tumor di sistem reproduksi. Jika bentuk rahim menentukan kehamilan, bedah dapat memperbaiki hal ini. Bedah ini biasanya dilakukan dengan metode laparoskopi dengan masa penyembuhan sekitar 2 minggu. 

Sementara, perempuan dengan masalah autoimun dapat menjalani pengobatan. Ada baiknya menginformasikan dokter jika Anda rentan mengalami perdarahan di perut. 

Selain itu dengan mengatasi masalah kesehatan yang mendasari keguguran ini juga bisa membantu. Misalnya jika Anda mengidap diabetes, maka terapi obat-obatan dan menerapkan gaya hidup sehat, dapat membantu mengatasi diabetes dan pada akhirnya menurunkan risiko terjadinya keguguran. 

Jika keguguran yang Bunda alami terjadi karena translokasi kromosom–yang memengaruhi sekitar 5 persen pasangan yang ingin memiliki anak–dokter dapat merekomendasikan prosedur kesuburan misalnya dengan fertilisasi in-vitro. Hal ini dilakukan dengan pembuahan telur dan sperma di laboratorium. Sebelum menempatkan embrio tersebut ke dalam uterus, tes dilakukan untuk melihat ada tidaknya translokasi kromosom. Pemeriksaan laboratorium ini dapat meningkatkan kesempatan untuk terjadinya kehamilan yang sehat. 

Ya, jika Anda mengalami keguguran yang terjadi lebih dari 3 kali, ada baiknya berkonsultasi ke dokter untuk mengetahui penyebabnya. Dokter dapat membantu mencari penyebab terjadinya keguguran ini dan merekomendasikan penanganan yang terbaik.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Kehamilan

Memahami Perubahan pada Tubuh setelah Keguguran

mm

Published

on

efek keguguran
Efek keguguran tak hanya pada psikis, tapi juga fisik

Bunda mungkin ingat beberapa waktu lalu Chrissy Teigen, istri dari penulis lagu dan penyanyi John Legend, sempat berbagi cerita pengalamannya melalui keguguran via Instagram maupun Twitter. Dari kisahnya, kita jadi memahami bahwa keguguran bukanlah pengalaman yang mudah untuk dilalui, baik secara psikis maupun fisik. Efek keguguran pada fisik ibu bahkan bisa bertahan hingga berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan.

Bila Bunda adalah salah satu yang baru saja melalui momen berat itu, artikel ini mungkin bisa membantu Bunda memahami perubahan apa saja yang terjadi dan apa yang harus dilakukan karenanya.

Perubahan Fisik setelah Mengalami Keguguran

Di Indonesia, perempuan pekerja yang mengalami keguguran berhak mendapatkan cuti selama 1,5 bulan lamanya. Pemberian waktu istirahat ini bukan tanpa alasan. Selain kondisi emosional yang butuh waktu untuk pulih, kondisi fisik Bunda setelah mengalami keguguran pun akan terasa sangat berbeda.

Dilansir dari Parents.com, semakin lama Bunda mengalami kehamilan sebelum akhirnya keguguran, semakin banyak pula efek keguguran yang akan dirasakan tubuh. Hal paling mungkin yang Bunda rasakan adalah perubahan pada payudara dan kenaikan berat badan. 

Jika Bunda mengalami kematian janin dalam kandungan atau intrauterine fetal death (IUFD) di mana usia kandungan sudah di atas 20 minggu, Bunda mungkin sudah merasakan penuh pada payudara karena ASI sudah mulai dipersiapkan. ASI yang semestinya diperuntukkan bagi bayi, kini tetap tinggal dalam payudara dan bisa menimbulkan rasa sakit.

Tak hanya itu, hal lainnya yang mungkin Bunda alami adalah timbulnya selulit, sakit pada perut, rambut rontok, hingga rasa sakit pada vagina. Rasa sakit pada vagina ini umumnya dirasakan oleh para bunda yang mendapatkan episiotomi (jahitan pada perineum) ketika proses mengeluarkan janin. 

Bunda juga akan merasakan kram perut karena rahim yang berkontraksi untuk mengeluarkan sisa darah. Perdarahan yang lebih banyak dari menstruasi pun akan terjadi. Gumpalan darah pun mungkin akan turut keluar. Bagi Bunda yang sebelumnya pernah melahirkan, rasanya tidak akan jauh berbeda dengan masa nifas. 

Efek keguguran pada tubuh ini bisa bertahan selama beberapa hari bahkan minggu tergantung lamanya kehamilan sebelum mengalami keguguran. Perdarahan yang dialami oleh perempuan saat keguguran di usia 6 minggu biasanya akan lebih sedikit dan singkat dibanding perdarahan pada keguguran di usia 16 minggu.

Kondisi Emosional yang Dialami

Selain perubahan fisik, perubahan emosional tak dapat dinafikan. Rasa bingung, sedih, bahkan bersalah, campur baur jadi satu. Dan rasa duka ini mungkin diperparah dengan kondisi hormon yang berubah tiba-tiba. Saat keguguran terjadi, hormon estrogen dan progesteron turun drastis. Hormon hCG pun pelan-pelan menurun hingga nol. Kondisi emosional yang sudah tak stabil akan bertambah buruk karena hal ini.

Bagaimana Menyelesaikannya?

Kondisi fisik yang melelahkan ditambah dengan kondisi emosional yang masih berduka mungkin membuat Bunda ingin menyendiri dan menjauh dari kehidupan sosial. Its okay, take your time. Namun, jika dirasa Bunda tak dapat menyelesaikannya sendiri, cobalah ungkapkan perasaan kepada orang terdekat yang membuat Bunda nyaman. Entah itu pasangan, orang tua, atau sahabat. 

Tak perlu pula merasa bersalah jika Bunda ingin menerima bantuan sebanyak mungkin. Kondisi fisik yang belum sepenuhnya prima mungkin akan membuat Bunda kesulitan mengerjakan pekerjaan rumah. Jika sahabat ataupun saudara menawarkan bantuan, terimalah selama Bunda merasa nyaman.
Jika bercerita dengan orang terdekat belum juga mendamaikan hati Bunda, Bunda bisa meminta bantuan profesional, seperti terapis, psikolog, ataupun psikiater. Bergabung dalam support group pun terkadang bisa membantu. Namun, pastikan support group yang Bunda ikuti diampu oleh seorang tenaga ahli, ya.

Continue Reading

Kehamilan

Simak! Ini Dampak Pandemi bagi Ibu Hamil dan Bayi

mm

Published

on

Pandemi Covid-19 berdampak pada kita semua. Namun, tahukah, Bunda, bahwa pandemi ini memiliki konsekuensi tersendiri bagi ibu hamil dan ibu yang baru melahirkan? Begitu pun pada bayi yang baru lahir.

Risiko selama Kehamilan

Dilansir dari mayoclinic.org, risiko penularan Covid-19 pada ibu hamil berada pada level rendah. Namun, kehamilan meningkatkan risiko komplikasi serius pada bumil yang menderita Covid-19. Menurut Centers for Disease Control and Prevention, ibu hamil dengan Covid-19 lebih berpotensi mengalami masalah pernapasan yang membutuhkan penanganan intensif dibanding pasien yang tidak dalam keadaan hamil. Ibu hamil dengan Covid-19 juga lebih mungkin membutuhkan ventilator.

Sebuah studi dari para peneliti di University of Jordan menunjukkan sisi lain dampak pandemi bagi ibu hamil. Penelitian yang dilakukan pada sekitar 900 orang ibu hamil ini menunjukkan bahwa ada penurunan jumlah pemeriksaan kehamilan yang signifikan. Hanya 4% ibu hamil yang menerima pemeriksaan kehamilan selama lockdown. Padahal, ibu hamil saat pandemi sangat membutuhkan pemeriksaan kehamilan tepat waktu dan berkualitas demi kesehatan bayi yang dikandung. 

Di Indonesia sendiri, Bunda bisa melakukan pemeriksaan kehamilan di bidan yang tentunya lebih dekat dari rumah dan lebih kecil kemungkinannya berkontak dengan pasien lain. Cara ini bisa membuat Bunda tetap mendapatkan pemeriksaan kehamilan meski PSBB diberlakukan. Risiko penularan Covid-19 pun lebih rendah. Dengan catatan, kehamilan Bunda tidak berisiko dan tidak memiliki komplikasi serius ya. Kehamilan dengan risiko sebaiknya langsung diperiksakan ke dokter kandungan.

Persalinan di Tengah Pandemi

Ibu yang hamil saat pandemi berpotensi besar juga melahirkan di kala pandemi. Hal ini bisa menjadi kerugian tersendiri. Mengapa? 

Di masa pandemi, mayoritas faskes hanya memperbolehkan satu pendamping selama persalinan dan selama di ruang perawatan, beberapa faskes bahkan tidak memperbolehkan adanya pendamping sama sekali kala proses melahirkan. Padahal, ibu baru membutuhkan dukungan sebanyak yang diperlukan. Rasa lelah setelah melahirkan ditambah adaptasi dengan kehadiran bayi kadang membuat ibu baru kewalahan. Belum lagi ancaman baby blues yang bisa berkembang menjadi depresi pasca persalinan bila rasa sedih dan stres tinggal berlarut-larut. Angka depresi pasca persalinan sendiri meningkat selama pandemi, loh.

Dampak Pandemi bagi Bayi yang Baru Lahir

Tak hanya bagi Bunda, pandemi juga memiliki dampak sendiri bagi bayi. Sistem imun yang belum sempurna membuat bayi rentan tertular Covid-19, apalagi anak di bawah usia 2 tahun tidak diperbolehkan menggunakan masker karena khawatir mengganggu jalannya pernapasan. 

Belum lagi jika ada anggota keluarga yang kekeuh ingin menjenguk si kecil di tengah pandemi, risikonya pasti akan berlipat. Sulit pasti menerapkan protokol pada keluarga sendiri, tapi tetap dicoba ya, Bun. Mintalah keluarga yang menjenguk mengenakan masker baru ketika berada di dekat si kecil.

Bagi bayi yang orang tuanya terinfeksi Covid-19, ada kerugian lain yang akan dialami. Biasanya, bayi akan dipisahkan dari ibunya dan tidak bisa dirawat gabung demi mencegah penularan. Ini akan mengurangi peluang bayi untuk melakukan skin to skin contact dengan sang bunda. Pada beberapa kasus, ada pula kemungkinan bayi diperbolehkan pulang terlebih dulu dari rumah sakit, sementara sang ibu masih dirawat, sehingga proses menyusui langsung tidak bisa dilakukan dengan optimal.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Untuk meminimalisasi risiko penularan Covid-19 bagi Bunda yang tengah hamil dan keluarga, hal yang bisa dilakukan adalah mematuhi protokol kesehatan. Hindari bepergian ke luar rumah kecuali ada kebutuhan mendesak. Kalaupun harus ke luar rumah, selalu gunakan masker dan jaga jarak. Minta pula orang-orang yang tinggal serumah melakukan hal yang sama. Jangan lupa cuci tangan dengan air mengalir dan sabun sebelum menyentuh wajah atau makan/minum. Konsumsi gizi seimbang agar daya tahan tubuh terjaga.

Yang terpenting tetap semangat ya, Bun. Semoga senantiasa sehat!

Continue Reading

Kehamilan

Pertanyaan seputar Vaksin Covid-19 untuk Ibu Hamil dan Menyusui

mm

Published

on

vaksin covid untuk ibu hamil
Apakah vaksin Covid-19 bagi ibu hamil atau menyusui benar aman dan efektif?

Vaksinasi Covid-19 terus digencarkan pemerintah untuk mencapai kekebalan komunitas atau herd immunity. Di tengah program yang terus bergulir, banyak juga pertanyaan terkait keamanan dan efektivitas vaksin, salah satunya untuk ibu hamil dan menyusui. 

Berikut ini Ibu Sehati merangkumkan beberapa pertanyaan yang kerap muncul mengenai kaitan vaksin Covid-19 dengan ibu hamil dan menyusui. Yuk, disimak. 

Bagaimana cara kerja vaksin Covid-19?

Tujuan vaksin adalah agar penerima dapat memiliki kekebalan terhadap suatu penyakit. Untuk Covid-19 itu sendiri, yang menjadi penyebabnya adalah virus SARS CoV-2. Melalui vaksinasi tubuh kita berkenalan dengan virus tersebut. Setelah dikenali, diharapkan tubuh dapat membangun sistem kekebalan untuk melawan virus tersebut. Mereka yang belum menerima vaksin, tubuhnya tidak mengenali virus dan tidak tahu cara melawannya. Itu sebabnya, mereka yang tidak menerima vaksin, dapat jatuh sakit karena tubuh tidak memiliki bekal untuk melawan infeksi yang disebabkan oleh virus. 

Akan tetapi, kekebalan tubuh itu tidak datang secara serta-merta. Diperlukan waktu bagi vaksin untuk dapat bekerja maksimal. Vaksin SInovac yang digunakan di Indonesia, misalnya, diperlukan dua kali suntikan dengan jarak antara 28 hingga 40 hari. 

Apakah janin bisa mengidap Covid-19 jika ibu hamil menerima vaksin Covid-19?

Melalui vaksinasi Covid-19, bayi dalam kandungan ibu tidak akan terpapar virus. Virus Covid-19 itu sendiri terbuat dari satu protein yang tidak akan bereplikasi di dalam tubuh manusia. Selain tidak menyebabkan seorang yang divaksin menjadi positif Covid-19, begitupun janin dalam perut ibu hamil. 

Apakah vaksin Covid-19 aman untuk ibu hamil dan menyusui?

Dalam situasi darurat, uji klinis vaksin tidak akan melibatkan ibu hamil. Itu sebabnya, hingga sekarang tidak ada angka efikasi maupun keamanan vaksin bagi ibu hamil. Dari semua vaksin Covid-19 yang beredar saat ini pun tidak ada yang melibatkan ibu menyusui dalam uji klinisnya. 

Namun, vaksin dari jenis mRNA yang tidak diaktifkan, sehingga tidak dapat bereplikasi dibandingkan vaksin lain dengan jenis yang sama seperti vaksin tetanus, difteri maupun influenza. Sehingga, secara umum vaksin jenis ini aman dan dapat memberikan perlindungan pasif untuk janin, serta tidak menyebabkan keguguran maupun kelainan kongenital. 

Namun demikian, sejumlah badan dunia, organisasi profesi, lembaga kesehatan nasional maupun internasional seperti World Health Organisation (WHO) dan Persatuan Obstetri dan Ginekolog Indonesia (POGI) belum merekomendasikan vaksinasi Covid-19 untuk ibu hamil. Sebaliknya, vaksinasi bagi ibu menyusui diperbolehkan sepanjang tidak ada kontraindikasi. 

Apakah perlu berhenti menyusui setelah divaksin?

Bayi akan mendapatkan segudang manfaat dari air susu ibu. Manfaat ASI bagi tumbuh kembang bayi begitu berlimpah, termasuk di dalamnya antibodi. Itu sebabnya, Bunda tidak perlu berhenti menyusui setelah menerima vaksin Covid-19. Bahkan bayi dapat menerima manfaat vaksin dari ASI Bunda. 

Saya berencana menjalankan program hamil, apakah boleh divaksin?

Jika Bunda berencana menjalankan program kehamilan, sebaiknya tunda terlebih dahulu sampai mendapatkan vaksin Covid-19. Bunda dapat menjalankan program hamil paling lama 4 minggu setelah divaksin untuk menghindari Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)

Saya tengah melaksanakan vaksinasi lain, apakah dapat menerima vaksin Covid-19?

Tergantung vaksinasi apa yang sedang dilaksanakan. Jika dari vaksinasi tersebut diharapkan angkat titer antibodi tinggi dalam waktu yang cepat, maka vaksinasi tersebut perlu diselesaikan terlebih dahulu. Sementara untuk pemberian vaksin yang bersifat booster atau penguat, dapat ditunda.  

Apakah vaksin Covid-19 dapat menyebabkan kemandulan?

Tidak ada bukti bahwa vaksin Covid-19 menyebabkan kemandulan. Kabar ini sempat beredar Desember tahun lalu. Dikatakan bahwa kandungan yang ada pada vaksin bisa menyerang protein yang diperlukan untuk perkembangan plasenta. Akan tetapi, direktur WHO menepis kabar tersebut. Menurut situs Healthline, protein vaksin Covid-19 merupakan struktur yang sama sekali berbeda dari protein yang ada di plasenta. Sehingga, keduanya tidak berhubungan. 

Continue Reading

Trending