Warning: "continue" targeting switch is equivalent to "break". Did you mean to use "continue 2"? in /home/sehatico/ibu.sehati.co/wp-content/plugins/revslider/includes/operations.class.php on line 2734

Warning: "continue" targeting switch is equivalent to "break". Did you mean to use "continue 2"? in /home/sehatico/ibu.sehati.co/wp-content/plugins/revslider/includes/operations.class.php on line 2738

Warning: "continue" targeting switch is equivalent to "break". Did you mean to use "continue 2"? in /home/sehatico/ibu.sehati.co/wp-content/plugins/revslider/includes/output.class.php on line 3679
Preeklampsia, Waspadai Gejalanya Sejak Dini untuk Cegah Komplikasi
Connect with us

Kehamilan

Preeklampsia, Waspadai Gejalanya Sejak Dini untuk Cegah Komplikasi

mm

Published

on

penyebab, gejala, dan cara mengatasi preeklampsia

Preeklampsia merupakan salah satu kondisi serius yang harus sangat diwaspadai saat kehamilan. Diderita sekitar 5% ibu hamil, preeklampsia dapat menimbulkan komplikasi yang membahayakan ibu dan bayi jika tidak ditangani dengan baik sejak dini. Memastikan Bunda melakukan perawatan kehamilan (ANC) dengan baik dan benar, serta tidak melewatkan waktu kunjungan ke dokter kebidanan dan kandungan atau bidan adalah hal yang sangat disarankan. Kita pelajari lebih jauh yuk tentang pre-eklampsia.

Apa Itu Preeklampsia?

  • Preeklampsia adalah komplikasi pada kehamilan yang ditandai dengan tekanan darah yang tinggi dan timbulnya kerusakan pada salah satu sistem organ tubuh, pada umumnya ginjal.
  • Preeklampsia umumnya timbul pada usia kehamilan 20 minggu ke atas pada ibu hamil yang sebelumnya memiliki tekanan darah normal.
  • Preeklampsia dapat terjadi tiba-tiba. Peningkatan tekanan darah, walau sedikit, dapat merupakan tanda preeklampsia.
  • Jika tidak dirawat dan ditangani dengan baik, preeklampsia dapat mengakibatkan komplikasi serius, bahkan fatal, bagi ibu dan bayi.
  • Pengobatan preeklampsia adalah dengan melahirkan si kecil. Jika kehamilan Bunda masih terlalu muda, maka Bunda, Ayah dan dokter dapat berdiskusi untuk mencari jalan terbaik.

Gejala Preeklampsia

  • Terkadang pre-eklampsia muncul dan berkembang tanpa menunjukkan gejala apa pun.
  • Pada beberapa kasus, peningkatan tekanan darah terjadi perlahan, tetapi umumnya peningkatan tekanan darah terjadi secara drastis dan tiba-tiba.
  • Melakukan pemantauan dan pemeriksaan tekanan darah merupakan bagian penting dari perawatan kehamilan atau ANC, mengingat gejala awal kondisi ini pada umumnya adalah peningkatan tekanan darah. Jangan lupa isi “JURNAL” ya Bunda
  • Tekanan darah 140/90 milimeter merkuri (mm Hg) atau lebih tinggi, yang tercatat dalam dua kali kesempatan dalam jarak setidaknya empat jam, merupakan kondisi yang abnormal dan harus diwaspadai.
  • Kelebihan protein dalam urin (proteinuria) atau timbulnya gejala/tanda gangguan ginjal
  • Sakit kepala sangat parah
  • Perubahan pada penglihatan, termasuk kehilangan penglihatan temporer, penglihatan kabur atau sensitif terhadap cahaya.
  • Nyeri pada perut bagian atas, umumnya di bawah tulang rusak pada sisi kanan.
  • Mual atau muntah
  • Berkurangnya produksi urin atau air seni
  • Berkurangnya trombosit darah (thrombocytopenia)
  • Terganggunya atau rusaknya fungsi hati/liver.
  • Kesulitan bernapas atau napas pendek akibat cairan dalam paru-paru.
  • Peningkatan berat badan tiba-tiba dan bengkak (edema), khususnya di wajah atau tangan, seringkali timbul pada kondisi pre-eklampsia. Namun kondisi ini juga muncul pada kehamilan normal, sehingga tidak dapat diandalkan sebagai gejala pre-eklampsia.

Kapan Sebaiknya Berkonsultasi ke Dokter?

  • Pastikan Bunda tidak melewatkan waktu kunjungan ke dokter agar pemantauan tekanan darah tidak terlewatkan.
  • Segera hubungi dokter atau ke Unit Gawat Darurat (UGD) jika Bunda mengalami sakit kepala hebat, penglihatan kabur, nyeri hebat pada perut atau kesulitan bernafas yang hebat.
  • Mengingat sakit kepala, mual, rasa nyeri dan sakit adalah keluhan yang biasa terjadi saat hamil, terkadang menjadi sulit bagi Bunda untuk memilah apakah kondisi ini normal atau mengindikasikan adanya masalah serius, khususnya jika ini merupakan kehamilan pertama Bunda. Disarankan untuk menghubungi dokter Bunda jika gejala ini timbul.

Penyebab Preeklampsia

Penyebab pasti pre-eklampsia masih belum diketahui. Para ahli meyakini komplikasi ini berawal dari plasenta, organ pemasok nutrisi bagi janin selama masa kehamilan.

Di awal kehamilan, terbentuk pembuluh-pembuluh darah baru yang kemudian berkembang sehingga pasokan darah ke plasenta menjadi efisien.

Pada perempuan dengan pre-eklampsia, pembuluh darah-pembuluh darah ini sepertinya tidak berkembang sebagaimana seharusnya; lebih sempit dibandingkan pembuluh darah normal dan memiliki reaksi yang berbeda terhadap perubahan hormon. Hal ini membatasi jumlah darah yang dapat mengalir melaluinya.

Dampak yang dapat timbul akibat kondisi di atas mencakup:

  • Kurangnya aliran darah ke rahim/kandungan
  • Kerusakan pembuluh darah
  • Masalah pada sistem imunitas atau kekebalan tubuh
  • Gen tertentu
manfaat pemeriksaan tekanan darah untuk ibu hamil

Melakukan pemeriksaan tekanan darah sebagai cara memantau risiko preeklampsia.

Komplikasi terkait Tekanan Darah Tinggi Lain yang Dapat Timbul Selama Kehamilan

Pre-eklampsia merupakan salah satu dari empat komplikasi terkait tekanan darah tinggi yang dapat timbul selama kehamilan. Tiga lainnya adalah:

  • Hipertensi Gestasional

Penderita hipertensi gestasional memiliki tekanan darah yang tinggi tetapi tidak terdapat kelebihan protein di air seninya atau tanda-tanda kerusakan organ lainnya. Beberapa pendeita hipertensi gestasional pada akhirnya mengalami pre-eklampsia.

  • Hipertensi Kronis

Hipertensi kronis adalah tekanan darah tinggi yang terjadi sebelum kehamilan atau sebelum usia kehamilan mencapai 20 minggu. Namun, karena tekanan darah tinggi umumnya tidak menunjukkan gejala, kemungkinan sulit untuk mendeteksinya saat kondisi ini terjadi.

  • Hipertensi Kronis dengan Preeklampsia

Kondisi ini terjadi pada perempuan yang mengalami tekanan darah tinggi kronis sebelum hamil dan berkembang semakin parah saat ia hamil dengan disertai adanya kandungan protein dalam air seninya atau komplikasi kesehatan lainnya selama kehamilannya.

Faktor Risiko

Preeklampsia merupakan komplikasi yang hanya terjadi saat kehamilan. Berikut faktor risikonya:

  • Memiliki sejarah preeklampsia. Pernah mengidap preeklampsia, baik diri Bunda sendiri atau pun anggota keluarga lainnya, secara berarti meningkatkan risiko terjadinya komplikasi ini.
  • Kehamilan pertama. Risiko tertinggi terkena pre-eklampsia adalah saat kehamilan pertama.
  • Pasangan baru. Kehamilan yang terjadi bersama pasangan baru meningkatkan risiko terjadinya pre-eklampsia dibandingkan kehamilan kedua, ketiga dan seterusnya bersama pasangan yang sama.
  • Usia. Risiko terjadinya pre-eklampsia lebih tinggi pada perempuan yang hamil di usia lebih dari 40 tahun.
  • Obesitas. Risiko terjadinya pre-eklampsia lebih tinggi pada perempuan dengan obesitas.
  • Kehamilan kembar. Pre-eklampsia lebih sering terjadi pada ibu hamil dengan bayi kembar.
  • Jarak kehamilan. Kehamilan berjarak kurang dari dua tahun atau lebih dari 10 tahun memiliki risiko lebih tinggi terhadap pre-eklampsia.
  • Memiliki sejarah kondisi tertentu. Mengidap kondisi tertentu sebelum hamil seperti tekanan darah tinggi kronis, sakit kepala migren, diabetes tipe 1 atau 2, penyakit ginjal, kecenderungan penggumpalan darah atau lupus, dapat meningkatkan resiko pre-eklampsia.

Komplikasi yang Dapat Timbul

  • Semakin parah dan semakin dini pre-eklampsia terjadi, risiko yang dihadapi ibu dan bayi juga semakin besar.
  • Pre-eklampsia dapat mengharuskan dilakukannya persalinan dipercepat baik melalui induksi atau operasi (sectio cesaria). Konsultasikan dengan dokter Bunda ya.
  • Komplikasi yang dapat timbul mencakup:
  • Berkurangnya Aliran Darah ke Plasenta.

Preeklampsia berpengaruh terhadap pembuluh nadi yang membawa darah ke plasenta. Jika pasokan darah ke plasenta tidak cukup, jumlah oksigen dan nutrisi yang akan diterima si kecil di dalam rahim dapat berkurang dan hal ini dapat menyebabkan Pertumbuhan Janin Terhambat (PJT), Berat Badan Bayi Lahir Rendah (BBLR) atau kelahiran premature. Kelahiran premature dapat menimbulkan masalah pernafasan pada bayi.

  • Plasenta Abrupsi

Pre-eklampsia meningkatkan resiko Bunda terkena Plasenta Abrupsi, kondisi serius dimana sebagian atau seluruh plasenta terlepas dari dinding bagian dalam rahim sebelum si kecil lahir. Abrupsi berat dapat menyebabkan terjadinya perdarahan hebat dan kerusakan plasenta, yang bisa membahayakan jiwa Bunda dan si kecil.

  • Sindroma HELLP

HELLP merupakan singkatan dari kondisi terjadinya Hemolysis (kerusakan sel darah merah), peningkatan enzim Liver (atau hati), dan kadar atau jumlah trombosit rendah (Low Platelet).  Sindroma ini dapat dengan cepat mengancam jiwa Bunda dan si kecil. Gejalanya adalah: mual dan muntah, sakit kepala dan nyeri di perut kanan bagian atas. Sindroma HELLP sangat berbahaya karena dapat menjadi pertanda adanya kerusakan pada sejumlah sistem organ tubuh. Pada beberapa kasus, sindroma ini muncul secara tiba-tiba, bahkan sebelum terdeteksi adanya kondisi tekanan darah tinggi.

  • Eklampsia

Saat preeklampsia tidak terkendali, eklampsia yang pada intinya adalah pre-eklampsia disertai kejang, dapat terjadi. Gejala eklampsia yang langsung terjadi diantaranya adalah nyeri pada perut bagian kanan atas, sakit kepala berat, penglihatan terganggu dan perubahan keadaan mental seperti menurunnya kewaspadaan. Dampak eklampsia yang sangat serius bagi ibu dan bayi, mengharuskan bayi untuk segera dilahirkan berapapun usia kehamilannya.

  • Penyakit Jantung

Pre-eklampsia berpotensi meningkatkan resiko terkena gangguan pada jantung dan pembuluh darah jantung di masa mendatang. Resiko akan semakin bertambah jika sebelumnya pernah mengalami pre-eklampsia lebih dari satu satu kali atau kelahiran prematur. Untuk meminimalkan resiko, jaga berat badan ideal Bunda setelah melahirkan, konsumsi beragam sayuran dan buah-buahan, berolahraga teratur dan jangan merokok.

Kunjungan ke Dokter

Pre-eklampsia biasanya terdiagnosa saat Bunda melakukan kunjungan dan pemeriksaan kehamilan rutin. Apabila terdiagnosa, kemungkinan besar Bunda harus melakukan pemeriksaan kehamilan tambahan ke dokter kebidanan dan kandungan.

Berikut hal-hal yang dapat Bunda dan Ayah persiapkan sebelum kunjungan ke dokter:

  • Tuliskan semua gejala yang Bunda alami dan rasakan, bahkan jika menurut Bunda itu adalah gejala kehamila normal.
  • Buat daftar semua obat-obatan, vitamin, suplemen yang Bunda konsumsi.
  • Jika memungkinkan, ajak Ayah, keluarga atau teman untuk membantu mengingat semua informasi yang diberikan saat kunjungan ke dokter.
  • Buat daftar pertanyaan untuk dokter Bunda sesuai kadar kepentingannya sebagai antisipasi terbatasnya waktu.

Berikut adalah pertanyaan-pertanyaan umum terkait pre-eklampsia yang dapat Bunda tanyakan ke dokter:

  • Apakah kondisi ini telah mempengaruhi/membahayakan bayi saya?
  • Apakah aman untuk melanjutkan kehamilan ini?
  • Apakah pertanda atau gejala yang harus diwaspadai, dan kapan saya harus menghubungi dokter?
  • Seberapa sering saya harus kontrol, dan bagaimana kesehatan serta kesejahteraan bayi saya dimonitor?
  • Perawatan apa yang tersedia, dan mana yang dokter rekomendasikan?
  • Saya memiliki kondisi atau gangguan kesehatan lain. Bagaimana saya sebaiknya mengelola kondisi ini?
  • Adakah larangan aktivitas yang harus saya patuhi?
  • Apakah saya harus melahirkan melalui operasi section cesaria?
  • Selain pertanyaan-pertanyaan di atas, jangan ragu untuk bertanya jika ada yang terlintas saat konsultasi.

Tes dan Diagnosa

Gejala yang timbul untuk dapat didiagnosa dengan pre-eklampsia adalah memiliki tekanan darah yang tinggi dan salah satu atau lebih komplikasi di bawah ini setelah kehamilan berusia lebih dari 20 minggu:

  • Terdapat kandungan protein di air seni atau proteinuria
  • Trombosit rendah
  • Gangguan fungsi liver/hati
  • Gejala atau tanda adanya gangguan ginjal selain protein dalam air seni.
  • Cairan di paru-paru (oedema paru)
  • Serangan sakit kepala
  • Gangguan penglihatan

Sebelumnya, gejala untuk diagnosa pre-eklampsia adalah jika ibu hamil memiliki tekanan darah tinggi dan protein di dalam air seni. Namun, para ahli kini mengetahui bahwa memungkinkan untuk terkena pre-eclampsia walau tidak terdapat kadar protein dalam air seni.

Tekanan darah yang melebihi 140/90 mm Hg pada ibu hamil dianggap abnormal. Namun, satu kali pengukuran dengan hasil tekanan darah yang tinggi tidak langsung berarti Bunda mengalami pre-eklampsia. Pada saat Bunda satu kali terdeteksi memiliki tekanan darah abnormal, atau cukup jauh lebih tinggi daripada tekanan darah Bunda biasanya, umumnya dokter Bunda akan memantau hasil pengukuran tekanan darah selanjutnya.

Apabila hasil pengukuran tekanan darah Bunda empat jam setelah yang pertama tetap menunjukkan hasil abnormal, kemungkinan kecurigaan dokter bahwa Bunda mengalami pre-eklampsia terbukti. Dokter biasanya akan meminta Bunda untuk melakukan pengukuran tekanan darah tambahan serta melakukan tes darah dan air seni.

Baca juga: Manfaat Pemeriksaan Tekanan Darah untuk Ibu Hamil

Tes yang Dapat Dilakukan

Jika dokter Bunda mencurigai adanya pre-eklampsia, kemungkinan ada beberapa tes yang harus dilakukan:

  • Tes Darah. Tes ini akan dapat membantu menentukan fungsi hati dan ginjal serta jumlah hemoglobin di dalam darah, sel yang membantu proses pembekuan darah.
  • Analisa Air Seni (Urin). Sampel air seni tunggal untuk mengukur rasio protein hingga kreatinin – senyawa kimia yang terkandung di dalam urin – dapat digunakan untuk membuat diagnosa. Sampel air seni (urin) yang diambil lebih dari 24 jam sebelumnya dapat digunakan untuk menghitung jumlah protein yang hilang di dalam urin dan merupakan petunjuk untuk mengetahui kegawatan pre-eklampsia.
  • USG Janin. Umumnya dokter akan merekomendasikan untuk dilakukannya pengawasan dan pemantauan ketat terhadap pertumbuhan bayi dengan menggunakan USG. Citra si kecil yang terlihat saat pemeriksaan USG memungkinkan dokter untuk membuat taksiran berat badan janin dan jumlah cairan di dalam rahim (cairan amniotik).
  • Tes Non-stres atau profil biofisik. Tes nonstres merupakan prosedur sederhana untuk menguji reaksi detak jantung janin saat ia bergerak. Profil biofisik memadukan hasil USG dan tes non-stres untuk mendapatkan informasi lebih banyak mengenai pernafasan, irama, pergerakan serta volume cairan amniotik di dalam rahim.

Perawatan dan Pengobatan

Satu-satunya penawar pre-eklampsia adalah kelahiran. Bunda dihadapkan pada resiko yang tinggi terhadap terjadinya kejang, abrupsi plasenta, stroke dan kemungkinan perdarahan hebat hingga tekanan darah Bunda turun. Jika usia kehamilan Bunda masih muda, kelahiran mungkin bukan merupakan hal yang terbaik bagi si kecil.

Dokter akan memberitahu jadwal berkunjung Bunda untuk pemeriksaan kehamilan jika didiagnosa dengan pre-eklampsia, dan sepertinya Bunda harus lebih sering melakukannya dibandingkan dengan kehamilan tanpa komplikasi pre-eklampsia. Hal yang sama juga berlaku untuk tes darah, USG dan tes non-stres.

Baca juga: Solusio Plasenta, Jarang Terjadi tapi Patut Diwaspadai

Perawatan yang dapat dilakukan untuk pre-eklampsia diantaranya adalah:

  • Pengobatan untuk menurunkan tekanan darah. Tanyakan dan diskusikan dengan dokter Bunda ya.
  • Pemberian corticosteroids. Jika Bunda menderita pre-eklampsia berat atau sindroma HELLP, pengobatan corticosteroid dapat untuk sementara meningkatkan fungsi liver/hati dan hemoglobin guna membantu memperpanjang usia kehamilan. Corticosteroid juga dapat membantu mematangkan paru-paru si kecil setidaknya dalam 48 jam. Hal ini merupakan langkah penting untuk mempersiapkan kehidupan bayi lahir prematur. Tanyakan lebih jauh mengenai hal ini kepada dokter ya Bunda
  • Bed rest. Umumnya ibu hamil dengan pre-eklampsia disarankan untuk melakukan bedrest. Namun penelitian menunjukkan bahwa tidak terlihat manfaat yang berarti. Selain itu dapat meningkatkan resiko terjadinya penggumpalan darah selain berdampak pada kondisi ekonomi dan kehidupan sosial Bunda. Diskusikan dengan dokter Bunda untuk hal ini ya.
  • Rawat Inap. Pre-eklampsia berat kemungkinan mengharuskan Bunda untuk dirawat di rumah sakit guna perawatan yang lebih intensif dan uji yang lebih teratur untuk memonitor kesejahteraan janin serta memonitor volume cairan amniotik. Kekurangan cairan amniotik merupakan pertanda buruknya pasokan darah ke janin.
  • Jika Bunda didiagnosa dengan pre-eklampsia mendekati akhir kehamilan, umumnya dokter akan merekomendasikan untuk dilakukan percepatan kelahiran. Diskusikan dengan dokter Bunda ya.

Umumnya tekanan darah Bunda akan kembali normal dalam 12 minggu setelah melahirkan, atau lebih cepat.

Pencegahan

  • Walau para peneliti terus melakukan penelitian tentang cara pencegahan pre-eklampsia, namun sejauh ini belum ditemukan strategi yang jitu.
  • Mengkonsumsi lebih sedikit garam, mengubah aktivitas, membatasi asupan kalori, mengkonsumsi bawang putih atau minyak ikan tidak mengurangi resiko terhadap pre-eklampsia. Begitu juga dengan meningkatkan asupan vitamin E dan C.
  • Dalam beberapa kasus, konsumsi aspirin dalam dosis rendah dan suplemen Kalsium dapat membantu menurunkan resiko terhadap pre-eklampsia. Namun, langkah pencegahan ini hanya dapat dilakukan setelah Bunda berkonsultasi dengan dokter kandungan Bunda ya.
  • Sebelum kembali hamil, khususnya jika Bunda terkena pre-eklampsia pada kehamilan sebelumnya, langkah dan persiapan terbaik adalah dengan memastikan kondisi kesehatan Bunda sudah prima.
  • Kurangi berat badan jika memang dianjurkan oleh dokter dan pastikan kondisi lain seperti diabetes terkelola dengan baik.
  • Begitu hamil, rawat diri dan kehamilan Bunda serta si kecil dengan melakukan perawatan kehamilan sejak dini secara teratur.
  • Jika pre-eklampsia terdeteksi dini, Bunda, Ayah dan dokter dapat berkolaborasi untuk mencegah timbulnya komplikasi serta merencanakan langkah terbaik untuk Bunda dan si kecil.
  • Untuk saat ini, hal terbaik yang dapat dilakukan adalah mengikuti dan melakukan perawatan kehamilan dengan baik dan jangan lewatkan janji temu dengan dokter/bidan.
  • Bunda akan diukur tekanan darahnya dan diuji untuk melihat kadar protein dalam urin. Juga, penting bagi Bunda dan Ayah untuk cermat mengamati pertanda pre-eklampsia agar dapat segera menginformasikan dokter atau bidan Bunda dan segera mendapatkan perawatan.
Sumber:
Dr. Ari Waluyo, SpOG
www.mayoclinic.org
Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Kehamilan

Memahami Perubahan pada Tubuh setelah Keguguran

mm

Published

on

efek keguguran
Efek keguguran tak hanya pada psikis, tapi juga fisik

Bunda mungkin ingat beberapa waktu lalu Chrissy Teigen, istri dari penulis lagu dan penyanyi John Legend, sempat berbagi cerita pengalamannya melalui keguguran via Instagram maupun Twitter. Dari kisahnya, kita jadi memahami bahwa keguguran bukanlah pengalaman yang mudah untuk dilalui, baik secara psikis maupun fisik. Efek keguguran pada fisik ibu bahkan bisa bertahan hingga berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan.

Bila Bunda adalah salah satu yang baru saja melalui momen berat itu, artikel ini mungkin bisa membantu Bunda memahami perubahan apa saja yang terjadi dan apa yang harus dilakukan karenanya.

Perubahan Fisik setelah Mengalami Keguguran

Di Indonesia, perempuan pekerja yang mengalami keguguran berhak mendapatkan cuti selama 1,5 bulan lamanya. Pemberian waktu istirahat ini bukan tanpa alasan. Selain kondisi emosional yang butuh waktu untuk pulih, kondisi fisik Bunda setelah mengalami keguguran pun akan terasa sangat berbeda.

Dilansir dari Parents.com, semakin lama Bunda mengalami kehamilan sebelum akhirnya keguguran, semakin banyak pula efek keguguran yang akan dirasakan tubuh. Hal paling mungkin yang Bunda rasakan adalah perubahan pada payudara dan kenaikan berat badan. 

Jika Bunda mengalami kematian janin dalam kandungan atau intrauterine fetal death (IUFD) di mana usia kandungan sudah di atas 20 minggu, Bunda mungkin sudah merasakan penuh pada payudara karena ASI sudah mulai dipersiapkan. ASI yang semestinya diperuntukkan bagi bayi, kini tetap tinggal dalam payudara dan bisa menimbulkan rasa sakit.

Tak hanya itu, hal lainnya yang mungkin Bunda alami adalah timbulnya selulit, sakit pada perut, rambut rontok, hingga rasa sakit pada vagina. Rasa sakit pada vagina ini umumnya dirasakan oleh para bunda yang mendapatkan episiotomi (jahitan pada perineum) ketika proses mengeluarkan janin. 

Bunda juga akan merasakan kram perut karena rahim yang berkontraksi untuk mengeluarkan sisa darah. Perdarahan yang lebih banyak dari menstruasi pun akan terjadi. Gumpalan darah pun mungkin akan turut keluar. Bagi Bunda yang sebelumnya pernah melahirkan, rasanya tidak akan jauh berbeda dengan masa nifas. 

Efek keguguran pada tubuh ini bisa bertahan selama beberapa hari bahkan minggu tergantung lamanya kehamilan sebelum mengalami keguguran. Perdarahan yang dialami oleh perempuan saat keguguran di usia 6 minggu biasanya akan lebih sedikit dan singkat dibanding perdarahan pada keguguran di usia 16 minggu.

Kondisi Emosional yang Dialami

Selain perubahan fisik, perubahan emosional tak dapat dinafikan. Rasa bingung, sedih, bahkan bersalah, campur baur jadi satu. Dan rasa duka ini mungkin diperparah dengan kondisi hormon yang berubah tiba-tiba. Saat keguguran terjadi, hormon estrogen dan progesteron turun drastis. Hormon hCG pun pelan-pelan menurun hingga nol. Kondisi emosional yang sudah tak stabil akan bertambah buruk karena hal ini.

Bagaimana Menyelesaikannya?

Kondisi fisik yang melelahkan ditambah dengan kondisi emosional yang masih berduka mungkin membuat Bunda ingin menyendiri dan menjauh dari kehidupan sosial. Its okay, take your time. Namun, jika dirasa Bunda tak dapat menyelesaikannya sendiri, cobalah ungkapkan perasaan kepada orang terdekat yang membuat Bunda nyaman. Entah itu pasangan, orang tua, atau sahabat. 

Tak perlu pula merasa bersalah jika Bunda ingin menerima bantuan sebanyak mungkin. Kondisi fisik yang belum sepenuhnya prima mungkin akan membuat Bunda kesulitan mengerjakan pekerjaan rumah. Jika sahabat ataupun saudara menawarkan bantuan, terimalah selama Bunda merasa nyaman.
Jika bercerita dengan orang terdekat belum juga mendamaikan hati Bunda, Bunda bisa meminta bantuan profesional, seperti terapis, psikolog, ataupun psikiater. Bergabung dalam support group pun terkadang bisa membantu. Namun, pastikan support group yang Bunda ikuti diampu oleh seorang tenaga ahli, ya.

Continue Reading

Kehamilan

Simak! Ini Dampak Pandemi bagi Ibu Hamil dan Bayi

mm

Published

on

Pandemi Covid-19 berdampak pada kita semua. Namun, tahukah, Bunda, bahwa pandemi ini memiliki konsekuensi tersendiri bagi ibu hamil dan ibu yang baru melahirkan? Begitu pun pada bayi yang baru lahir.

Risiko selama Kehamilan

Dilansir dari mayoclinic.org, risiko penularan Covid-19 pada ibu hamil berada pada level rendah. Namun, kehamilan meningkatkan risiko komplikasi serius pada bumil yang menderita Covid-19. Menurut Centers for Disease Control and Prevention, ibu hamil dengan Covid-19 lebih berpotensi mengalami masalah pernapasan yang membutuhkan penanganan intensif dibanding pasien yang tidak dalam keadaan hamil. Ibu hamil dengan Covid-19 juga lebih mungkin membutuhkan ventilator.

Sebuah studi dari para peneliti di University of Jordan menunjukkan sisi lain dampak pandemi bagi ibu hamil. Penelitian yang dilakukan pada sekitar 900 orang ibu hamil ini menunjukkan bahwa ada penurunan jumlah pemeriksaan kehamilan yang signifikan. Hanya 4% ibu hamil yang menerima pemeriksaan kehamilan selama lockdown. Padahal, ibu hamil saat pandemi sangat membutuhkan pemeriksaan kehamilan tepat waktu dan berkualitas demi kesehatan bayi yang dikandung. 

Di Indonesia sendiri, Bunda bisa melakukan pemeriksaan kehamilan di bidan yang tentunya lebih dekat dari rumah dan lebih kecil kemungkinannya berkontak dengan pasien lain. Cara ini bisa membuat Bunda tetap mendapatkan pemeriksaan kehamilan meski PSBB diberlakukan. Risiko penularan Covid-19 pun lebih rendah. Dengan catatan, kehamilan Bunda tidak berisiko dan tidak memiliki komplikasi serius ya. Kehamilan dengan risiko sebaiknya langsung diperiksakan ke dokter kandungan.

Persalinan di Tengah Pandemi

Ibu yang hamil saat pandemi berpotensi besar juga melahirkan di kala pandemi. Hal ini bisa menjadi kerugian tersendiri. Mengapa? 

Di masa pandemi, mayoritas faskes hanya memperbolehkan satu pendamping selama persalinan dan selama di ruang perawatan, beberapa faskes bahkan tidak memperbolehkan adanya pendamping sama sekali kala proses melahirkan. Padahal, ibu baru membutuhkan dukungan sebanyak yang diperlukan. Rasa lelah setelah melahirkan ditambah adaptasi dengan kehadiran bayi kadang membuat ibu baru kewalahan. Belum lagi ancaman baby blues yang bisa berkembang menjadi depresi pasca persalinan bila rasa sedih dan stres tinggal berlarut-larut. Angka depresi pasca persalinan sendiri meningkat selama pandemi, loh.

Dampak Pandemi bagi Bayi yang Baru Lahir

Tak hanya bagi Bunda, pandemi juga memiliki dampak sendiri bagi bayi. Sistem imun yang belum sempurna membuat bayi rentan tertular Covid-19, apalagi anak di bawah usia 2 tahun tidak diperbolehkan menggunakan masker karena khawatir mengganggu jalannya pernapasan. 

Belum lagi jika ada anggota keluarga yang kekeuh ingin menjenguk si kecil di tengah pandemi, risikonya pasti akan berlipat. Sulit pasti menerapkan protokol pada keluarga sendiri, tapi tetap dicoba ya, Bun. Mintalah keluarga yang menjenguk mengenakan masker baru ketika berada di dekat si kecil.

Bagi bayi yang orang tuanya terinfeksi Covid-19, ada kerugian lain yang akan dialami. Biasanya, bayi akan dipisahkan dari ibunya dan tidak bisa dirawat gabung demi mencegah penularan. Ini akan mengurangi peluang bayi untuk melakukan skin to skin contact dengan sang bunda. Pada beberapa kasus, ada pula kemungkinan bayi diperbolehkan pulang terlebih dulu dari rumah sakit, sementara sang ibu masih dirawat, sehingga proses menyusui langsung tidak bisa dilakukan dengan optimal.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Untuk meminimalisasi risiko penularan Covid-19 bagi Bunda yang tengah hamil dan keluarga, hal yang bisa dilakukan adalah mematuhi protokol kesehatan. Hindari bepergian ke luar rumah kecuali ada kebutuhan mendesak. Kalaupun harus ke luar rumah, selalu gunakan masker dan jaga jarak. Minta pula orang-orang yang tinggal serumah melakukan hal yang sama. Jangan lupa cuci tangan dengan air mengalir dan sabun sebelum menyentuh wajah atau makan/minum. Konsumsi gizi seimbang agar daya tahan tubuh terjaga.

Yang terpenting tetap semangat ya, Bun. Semoga senantiasa sehat!

Continue Reading

Kehamilan

Pertanyaan seputar Vaksin Covid-19 untuk Ibu Hamil dan Menyusui

mm

Published

on

vaksin covid untuk ibu hamil
Apakah vaksin Covid-19 bagi ibu hamil atau menyusui benar aman dan efektif?

Vaksinasi Covid-19 terus digencarkan pemerintah untuk mencapai kekebalan komunitas atau herd immunity. Di tengah program yang terus bergulir, banyak juga pertanyaan terkait keamanan dan efektivitas vaksin, salah satunya untuk ibu hamil dan menyusui. 

Berikut ini Ibu Sehati merangkumkan beberapa pertanyaan yang kerap muncul mengenai kaitan vaksin Covid-19 dengan ibu hamil dan menyusui. Yuk, disimak. 

Bagaimana cara kerja vaksin Covid-19?

Tujuan vaksin adalah agar penerima dapat memiliki kekebalan terhadap suatu penyakit. Untuk Covid-19 itu sendiri, yang menjadi penyebabnya adalah virus SARS CoV-2. Melalui vaksinasi tubuh kita berkenalan dengan virus tersebut. Setelah dikenali, diharapkan tubuh dapat membangun sistem kekebalan untuk melawan virus tersebut. Mereka yang belum menerima vaksin, tubuhnya tidak mengenali virus dan tidak tahu cara melawannya. Itu sebabnya, mereka yang tidak menerima vaksin, dapat jatuh sakit karena tubuh tidak memiliki bekal untuk melawan infeksi yang disebabkan oleh virus. 

Akan tetapi, kekebalan tubuh itu tidak datang secara serta-merta. Diperlukan waktu bagi vaksin untuk dapat bekerja maksimal. Vaksin SInovac yang digunakan di Indonesia, misalnya, diperlukan dua kali suntikan dengan jarak antara 28 hingga 40 hari. 

Apakah janin bisa mengidap Covid-19 jika ibu hamil menerima vaksin Covid-19?

Melalui vaksinasi Covid-19, bayi dalam kandungan ibu tidak akan terpapar virus. Virus Covid-19 itu sendiri terbuat dari satu protein yang tidak akan bereplikasi di dalam tubuh manusia. Selain tidak menyebabkan seorang yang divaksin menjadi positif Covid-19, begitupun janin dalam perut ibu hamil. 

Apakah vaksin Covid-19 aman untuk ibu hamil dan menyusui?

Dalam situasi darurat, uji klinis vaksin tidak akan melibatkan ibu hamil. Itu sebabnya, hingga sekarang tidak ada angka efikasi maupun keamanan vaksin bagi ibu hamil. Dari semua vaksin Covid-19 yang beredar saat ini pun tidak ada yang melibatkan ibu menyusui dalam uji klinisnya. 

Namun, vaksin dari jenis mRNA yang tidak diaktifkan, sehingga tidak dapat bereplikasi dibandingkan vaksin lain dengan jenis yang sama seperti vaksin tetanus, difteri maupun influenza. Sehingga, secara umum vaksin jenis ini aman dan dapat memberikan perlindungan pasif untuk janin, serta tidak menyebabkan keguguran maupun kelainan kongenital. 

Namun demikian, sejumlah badan dunia, organisasi profesi, lembaga kesehatan nasional maupun internasional seperti World Health Organisation (WHO) dan Persatuan Obstetri dan Ginekolog Indonesia (POGI) belum merekomendasikan vaksinasi Covid-19 untuk ibu hamil. Sebaliknya, vaksinasi bagi ibu menyusui diperbolehkan sepanjang tidak ada kontraindikasi. 

Apakah perlu berhenti menyusui setelah divaksin?

Bayi akan mendapatkan segudang manfaat dari air susu ibu. Manfaat ASI bagi tumbuh kembang bayi begitu berlimpah, termasuk di dalamnya antibodi. Itu sebabnya, Bunda tidak perlu berhenti menyusui setelah menerima vaksin Covid-19. Bahkan bayi dapat menerima manfaat vaksin dari ASI Bunda. 

Saya berencana menjalankan program hamil, apakah boleh divaksin?

Jika Bunda berencana menjalankan program kehamilan, sebaiknya tunda terlebih dahulu sampai mendapatkan vaksin Covid-19. Bunda dapat menjalankan program hamil paling lama 4 minggu setelah divaksin untuk menghindari Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)

Saya tengah melaksanakan vaksinasi lain, apakah dapat menerima vaksin Covid-19?

Tergantung vaksinasi apa yang sedang dilaksanakan. Jika dari vaksinasi tersebut diharapkan angkat titer antibodi tinggi dalam waktu yang cepat, maka vaksinasi tersebut perlu diselesaikan terlebih dahulu. Sementara untuk pemberian vaksin yang bersifat booster atau penguat, dapat ditunda.  

Apakah vaksin Covid-19 dapat menyebabkan kemandulan?

Tidak ada bukti bahwa vaksin Covid-19 menyebabkan kemandulan. Kabar ini sempat beredar Desember tahun lalu. Dikatakan bahwa kandungan yang ada pada vaksin bisa menyerang protein yang diperlukan untuk perkembangan plasenta. Akan tetapi, direktur WHO menepis kabar tersebut. Menurut situs Healthline, protein vaksin Covid-19 merupakan struktur yang sama sekali berbeda dari protein yang ada di plasenta. Sehingga, keduanya tidak berhubungan. 

Continue Reading

Trending