fbpx
Connect with us

Kehamilan

Oligohidramnion, Ketahui Penyebab dan Pengobatannya

Oligohidramnion adalah kondisi cairan ketuban terlalu sedikit dan biasanya terjadi pada kehamilan trimester ketiga. Apa saja faktor dan penyebabnya?

mm

Published

on

Oligohidramnion
Oligohidramnion adalah kondisi cairan ketuban terlalu sedikit dan biasanya terjadi pada kehamilan trimester ketiga. Apa saja faktor dan penyebabnya?

Air ketuban merupakan cairan yang melingkupi si kecil yang sedang berada di dalam perut bunda, lho. Fungsi air ketuban sendiri adalah melindungi si kecil dari cedera, infeksi, sekaligus memberikan ruang pada si kecil untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Bila air ketuban terlampau sedikit, hal ini dapat berbahaya bagi si kecil.

Apa itu Oligohidramnion?

Lalu, apa itu oligohidramnion? Menurut dr. Cepi Teguh Pramadya, Sp.OG, oligohidramnion adalah kondisi terjadinya penurunan atau kekurangan jumlah cairan ketuban yang melingkupi janin dalam rahim.

Untuk tahu apakah Bunda mengalami oligohidramnion, dokter biasanya mengukur jumlah cairan ketuban. Ada beberapa metode yang bisa dokter lakukan. Salah satunya adalah melalui evaluasi indeks cairan ketuban atau amniotic fluid index  (AFI) atau pengukuran kedalaman saku.

Jika AFI menunjukkan tingkat cairan kurang dari 5 cm (atau kurang dari persentil ke-5), tidak adanya kantong cairan dengan kedalaman 2-3 cm, atau volume cairan kurang dari 500 ml pada usia kehamilan 32-36 minggu, maka Bunda dicurigai menderita oligohidramnion.

Menurut data dari American Pregnancy, sekitar 8% wanita hamil dapat memiliki tingkat cairan ketuban yang rendah. Dari jumlah itu, sekitar 4% didiagnosa mengidap oligohidramnion. Ini dapat terjadi kapan saja selama kehamilan, tetapi paling sering terjadi selama trimester terakhir ya, Bun.

Jika dua sampai tiga minggu setelah HPL Bunda belum juga melahirkan, risiko Bunda memiliki  tingkat cairan ketuban yang rendah akan lebih tinggi. Pasalnya, cairan ketuban dapat berkurang hingga setengahnya setelah mencapai usia kehamilan 42 minggu.

Jika Bunda mengalami oligohidramnion dalam rentang waktu ini, dampaknya pun akan lebih berbahaya karena oligohidramnion dapat menyebabkan komplikasi pada sekitar 12% kehamilan yang berlangsung selama 41 minggu. Ketika dilahirkan, janin dapat mengalami gangguan fisik, seperti dagu dan telinga lebih rendah daripada kondisi normal hingga hidung melebar.

Penyebab

Penyebab oligohidramnion bisa datang dari kondisi ibu ataupun janin.  “Pada janin, penyebab oligohidramnion bisa karena kelainan pada saluran kemih dan atau ginjal,” ujar dr. Cepi. Kelainan saluran kemih atau ginjal pada janin itulah yang merupakan kelainan kongenital dan bisa menyebabkan oligohidramnion. Kelainan kromosom pada janin yang berada dalam perut Bunda juga bisa jadi penyebabnya.

Penyebab oligohidramnion lainnya adalah insufisiensi plasenta, yaitu gangguan atau masalah pada plasenta yang menyebabkan kebutuhan oksigen pada janin tidak terpenuhi. Hal ini secara tidak langsung akan berpengaruh pada fungsi ginjal janin atau si kecil dalam perut bunda. Produksi urin janin akan berkurang dan kemudian berdampak pada penurunan jumlah air ketuban.

Sementara itu, penyebab oligohidramnion yang berasal dari kondisi Bunda adalah hipertensi, pertumbuhan janin terhambat, dan sindroma aspirasi.  

Lebih lengkapnya, inilah faktor risiko pada ibu hamil yang terkait dengan oligohidramnion.

  • Tekanan darah tinggi kronis pada ibu hamil, termasuk di dalamnya pre-eklampsia atau tekanan darah tinggi saat Bunda memasuki usia kehamilan lebih dari 20 minggu.
  • Dehidrasi atau kekurangan cairan.
  • Kencing manis atau diabetes.
  • Gejala lupus atau sudah terjangkit lupus.

Air ketuban yang bocor dan usia kehamilan yang melewati HPL juga bisa jadi penyebab oligohidramnion loh, Bun.

Tanda dan Gejala

Ketika Bunda mengalami oligohidramnion, tanda yang biasa timbul adalah nyeri pada ulu hati, terjadinya kontraksi yang tidak teratur, dan gerakan janin berkurang. Dokter Cepi menyebutkan bahwa pada kasus oligohidramnion yang berat, kadang bentuk perut Bunda akan menyerupai bentuk janin seolah janin tercetak di kulit perut. Perut Bunda juga akan terlihat lebih kecil dari usia kehamilan seharusnya.

Mengatasinya

Pengobatan oligohidramnion bisa dengan tindakan amnioinfusion, yaitu memberikan infus NaCl ke dalam rongga amnion untuk menambah volume cairan ketuban,” ucap dr. Cepi. Pemberian cairan intravena dan oral juga dapat dilakukan untuk membantu meningkatkan kadar cairan amnion. Bedrest total pun dapat membantu Bunda menambah volume cairan ketuban. Namun, segala pengobatan dan tindakan untuk mengatasi oligohidramnion tentunya dilakukan setelah berkonsultasi dengan dokter ya, Bun.

Mencegahnya

Bunda, perlu diketahui bahwa, ada beberapa penyebab oligohidramnion yang memang tidak bisa dicegah. Namun untuk beberapa hal yang terkait dengan gaya hidup, Bunda dapat melakukan upaya pencegahan, berupa;

  • Konsumsi makanan sehat, terutama untuk Bunda yang memiliki diabetes.
  • Minum banyak air putih agar tidak terkena dehidrasi.
  • Lakukan olahraga secara teratur.
  • Jika bunda merokok, maka berhentilah.

Itulah berbagai hal tentang oligohidramnion yang perlu Bunda ketahui. Dokter Cepi menyarankan Bunda tetap berhati-hati agar terhindar dari kondisi ini. Konsumsilah vitamin yang dianjurkan dokter dan minum air putih minimal tiga liter per harinya. Lakukan pula kontrol kehamilan secara teratur dan berkala untuk mengetahui kondisi terkini si kecil dan tekanan darah Bunda.

Untuk mengetahui lebih lanjut seputar kehamilan dan persalinan, Bunda dapat mengukuti laman Facebook dan Instagram Ibu Sehati. Untuk panduan menjalani kehamilan, coba unduh Sehati Apps di smartphone Bunda melalui Google Play Store Google Play Store dan Apple Store.

Sumber: 1. William’s Obstetrics Twenty-Second Ed. Cunningham, F. Gary, et al, Ch. 21. March of Dimes.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Kehamilan

Memahami Perubahan pada Tubuh setelah Keguguran

mm

Published

on

efek keguguran
Efek keguguran tak hanya pada psikis, tapi juga fisik

Bunda mungkin ingat beberapa waktu lalu Chrissy Teigen, istri dari penulis lagu dan penyanyi John Legend, sempat berbagi cerita pengalamannya melalui keguguran via Instagram maupun Twitter. Dari kisahnya, kita jadi memahami bahwa keguguran bukanlah pengalaman yang mudah untuk dilalui, baik secara psikis maupun fisik. Efek keguguran pada fisik ibu bahkan bisa bertahan hingga berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan.

Bila Bunda adalah salah satu yang baru saja melalui momen berat itu, artikel ini mungkin bisa membantu Bunda memahami perubahan apa saja yang terjadi dan apa yang harus dilakukan karenanya.

Perubahan Fisik setelah Mengalami Keguguran

Di Indonesia, perempuan pekerja yang mengalami keguguran berhak mendapatkan cuti selama 1,5 bulan lamanya. Pemberian waktu istirahat ini bukan tanpa alasan. Selain kondisi emosional yang butuh waktu untuk pulih, kondisi fisik Bunda setelah mengalami keguguran pun akan terasa sangat berbeda.

Dilansir dari Parents.com, semakin lama Bunda mengalami kehamilan sebelum akhirnya keguguran, semakin banyak pula efek keguguran yang akan dirasakan tubuh. Hal paling mungkin yang Bunda rasakan adalah perubahan pada payudara dan kenaikan berat badan. 

Jika Bunda mengalami kematian janin dalam kandungan atau intrauterine fetal death (IUFD) di mana usia kandungan sudah di atas 20 minggu, Bunda mungkin sudah merasakan penuh pada payudara karena ASI sudah mulai dipersiapkan. ASI yang semestinya diperuntukkan bagi bayi, kini tetap tinggal dalam payudara dan bisa menimbulkan rasa sakit.

Tak hanya itu, hal lainnya yang mungkin Bunda alami adalah timbulnya selulit, sakit pada perut, rambut rontok, hingga rasa sakit pada vagina. Rasa sakit pada vagina ini umumnya dirasakan oleh para bunda yang mendapatkan episiotomi (jahitan pada perineum) ketika proses mengeluarkan janin. 

Bunda juga akan merasakan kram perut karena rahim yang berkontraksi untuk mengeluarkan sisa darah. Perdarahan yang lebih banyak dari menstruasi pun akan terjadi. Gumpalan darah pun mungkin akan turut keluar. Bagi Bunda yang sebelumnya pernah melahirkan, rasanya tidak akan jauh berbeda dengan masa nifas. 

Efek keguguran pada tubuh ini bisa bertahan selama beberapa hari bahkan minggu tergantung lamanya kehamilan sebelum mengalami keguguran. Perdarahan yang dialami oleh perempuan saat keguguran di usia 6 minggu biasanya akan lebih sedikit dan singkat dibanding perdarahan pada keguguran di usia 16 minggu.

Kondisi Emosional yang Dialami

Selain perubahan fisik, perubahan emosional tak dapat dinafikan. Rasa bingung, sedih, bahkan bersalah, campur baur jadi satu. Dan rasa duka ini mungkin diperparah dengan kondisi hormon yang berubah tiba-tiba. Saat keguguran terjadi, hormon estrogen dan progesteron turun drastis. Hormon hCG pun pelan-pelan menurun hingga nol. Kondisi emosional yang sudah tak stabil akan bertambah buruk karena hal ini.

Bagaimana Menyelesaikannya?

Kondisi fisik yang melelahkan ditambah dengan kondisi emosional yang masih berduka mungkin membuat Bunda ingin menyendiri dan menjauh dari kehidupan sosial. Its okay, take your time. Namun, jika dirasa Bunda tak dapat menyelesaikannya sendiri, cobalah ungkapkan perasaan kepada orang terdekat yang membuat Bunda nyaman. Entah itu pasangan, orang tua, atau sahabat. 

Tak perlu pula merasa bersalah jika Bunda ingin menerima bantuan sebanyak mungkin. Kondisi fisik yang belum sepenuhnya prima mungkin akan membuat Bunda kesulitan mengerjakan pekerjaan rumah. Jika sahabat ataupun saudara menawarkan bantuan, terimalah selama Bunda merasa nyaman.
Jika bercerita dengan orang terdekat belum juga mendamaikan hati Bunda, Bunda bisa meminta bantuan profesional, seperti terapis, psikolog, ataupun psikiater. Bergabung dalam support group pun terkadang bisa membantu. Namun, pastikan support group yang Bunda ikuti diampu oleh seorang tenaga ahli, ya.

Continue Reading

Kehamilan

Simak! Ini Dampak Pandemi bagi Ibu Hamil dan Bayi

mm

Published

on

Pandemi Covid-19 berdampak pada kita semua. Namun, tahukah, Bunda, bahwa pandemi ini memiliki konsekuensi tersendiri bagi ibu hamil dan ibu yang baru melahirkan? Begitu pun pada bayi yang baru lahir.

Risiko selama Kehamilan

Dilansir dari mayoclinic.org, risiko penularan Covid-19 pada ibu hamil berada pada level rendah. Namun, kehamilan meningkatkan risiko komplikasi serius pada bumil yang menderita Covid-19. Menurut Centers for Disease Control and Prevention, ibu hamil dengan Covid-19 lebih berpotensi mengalami masalah pernapasan yang membutuhkan penanganan intensif dibanding pasien yang tidak dalam keadaan hamil. Ibu hamil dengan Covid-19 juga lebih mungkin membutuhkan ventilator.

Sebuah studi dari para peneliti di University of Jordan menunjukkan sisi lain dampak pandemi bagi ibu hamil. Penelitian yang dilakukan pada sekitar 900 orang ibu hamil ini menunjukkan bahwa ada penurunan jumlah pemeriksaan kehamilan yang signifikan. Hanya 4% ibu hamil yang menerima pemeriksaan kehamilan selama lockdown. Padahal, ibu hamil saat pandemi sangat membutuhkan pemeriksaan kehamilan tepat waktu dan berkualitas demi kesehatan bayi yang dikandung. 

Di Indonesia sendiri, Bunda bisa melakukan pemeriksaan kehamilan di bidan yang tentunya lebih dekat dari rumah dan lebih kecil kemungkinannya berkontak dengan pasien lain. Cara ini bisa membuat Bunda tetap mendapatkan pemeriksaan kehamilan meski PSBB diberlakukan. Risiko penularan Covid-19 pun lebih rendah. Dengan catatan, kehamilan Bunda tidak berisiko dan tidak memiliki komplikasi serius ya. Kehamilan dengan risiko sebaiknya langsung diperiksakan ke dokter kandungan.

Persalinan di Tengah Pandemi

Ibu yang hamil saat pandemi berpotensi besar juga melahirkan di kala pandemi. Hal ini bisa menjadi kerugian tersendiri. Mengapa? 

Di masa pandemi, mayoritas faskes hanya memperbolehkan satu pendamping selama persalinan dan selama di ruang perawatan, beberapa faskes bahkan tidak memperbolehkan adanya pendamping sama sekali kala proses melahirkan. Padahal, ibu baru membutuhkan dukungan sebanyak yang diperlukan. Rasa lelah setelah melahirkan ditambah adaptasi dengan kehadiran bayi kadang membuat ibu baru kewalahan. Belum lagi ancaman baby blues yang bisa berkembang menjadi depresi pasca persalinan bila rasa sedih dan stres tinggal berlarut-larut. Angka depresi pasca persalinan sendiri meningkat selama pandemi, loh.

Dampak Pandemi bagi Bayi yang Baru Lahir

Tak hanya bagi Bunda, pandemi juga memiliki dampak sendiri bagi bayi. Sistem imun yang belum sempurna membuat bayi rentan tertular Covid-19, apalagi anak di bawah usia 2 tahun tidak diperbolehkan menggunakan masker karena khawatir mengganggu jalannya pernapasan. 

Belum lagi jika ada anggota keluarga yang kekeuh ingin menjenguk si kecil di tengah pandemi, risikonya pasti akan berlipat. Sulit pasti menerapkan protokol pada keluarga sendiri, tapi tetap dicoba ya, Bun. Mintalah keluarga yang menjenguk mengenakan masker baru ketika berada di dekat si kecil.

Bagi bayi yang orang tuanya terinfeksi Covid-19, ada kerugian lain yang akan dialami. Biasanya, bayi akan dipisahkan dari ibunya dan tidak bisa dirawat gabung demi mencegah penularan. Ini akan mengurangi peluang bayi untuk melakukan skin to skin contact dengan sang bunda. Pada beberapa kasus, ada pula kemungkinan bayi diperbolehkan pulang terlebih dulu dari rumah sakit, sementara sang ibu masih dirawat, sehingga proses menyusui langsung tidak bisa dilakukan dengan optimal.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Untuk meminimalisasi risiko penularan Covid-19 bagi Bunda yang tengah hamil dan keluarga, hal yang bisa dilakukan adalah mematuhi protokol kesehatan. Hindari bepergian ke luar rumah kecuali ada kebutuhan mendesak. Kalaupun harus ke luar rumah, selalu gunakan masker dan jaga jarak. Minta pula orang-orang yang tinggal serumah melakukan hal yang sama. Jangan lupa cuci tangan dengan air mengalir dan sabun sebelum menyentuh wajah atau makan/minum. Konsumsi gizi seimbang agar daya tahan tubuh terjaga.

Yang terpenting tetap semangat ya, Bun. Semoga senantiasa sehat!

Continue Reading

Kehamilan

Pertanyaan seputar Vaksin Covid-19 untuk Ibu Hamil dan Menyusui

mm

Published

on

vaksin covid untuk ibu hamil
Apakah vaksin Covid-19 bagi ibu hamil atau menyusui benar aman dan efektif?

Vaksinasi Covid-19 terus digencarkan pemerintah untuk mencapai kekebalan komunitas atau herd immunity. Di tengah program yang terus bergulir, banyak juga pertanyaan terkait keamanan dan efektivitas vaksin, salah satunya untuk ibu hamil dan menyusui. 

Berikut ini Ibu Sehati merangkumkan beberapa pertanyaan yang kerap muncul mengenai kaitan vaksin Covid-19 dengan ibu hamil dan menyusui. Yuk, disimak. 

Bagaimana cara kerja vaksin Covid-19?

Tujuan vaksin adalah agar penerima dapat memiliki kekebalan terhadap suatu penyakit. Untuk Covid-19 itu sendiri, yang menjadi penyebabnya adalah virus SARS CoV-2. Melalui vaksinasi tubuh kita berkenalan dengan virus tersebut. Setelah dikenali, diharapkan tubuh dapat membangun sistem kekebalan untuk melawan virus tersebut. Mereka yang belum menerima vaksin, tubuhnya tidak mengenali virus dan tidak tahu cara melawannya. Itu sebabnya, mereka yang tidak menerima vaksin, dapat jatuh sakit karena tubuh tidak memiliki bekal untuk melawan infeksi yang disebabkan oleh virus. 

Akan tetapi, kekebalan tubuh itu tidak datang secara serta-merta. Diperlukan waktu bagi vaksin untuk dapat bekerja maksimal. Vaksin SInovac yang digunakan di Indonesia, misalnya, diperlukan dua kali suntikan dengan jarak antara 28 hingga 40 hari. 

Apakah janin bisa mengidap Covid-19 jika ibu hamil menerima vaksin Covid-19?

Melalui vaksinasi Covid-19, bayi dalam kandungan ibu tidak akan terpapar virus. Virus Covid-19 itu sendiri terbuat dari satu protein yang tidak akan bereplikasi di dalam tubuh manusia. Selain tidak menyebabkan seorang yang divaksin menjadi positif Covid-19, begitupun janin dalam perut ibu hamil. 

Apakah vaksin Covid-19 aman untuk ibu hamil dan menyusui?

Dalam situasi darurat, uji klinis vaksin tidak akan melibatkan ibu hamil. Itu sebabnya, hingga sekarang tidak ada angka efikasi maupun keamanan vaksin bagi ibu hamil. Dari semua vaksin Covid-19 yang beredar saat ini pun tidak ada yang melibatkan ibu menyusui dalam uji klinisnya. 

Namun, vaksin dari jenis mRNA yang tidak diaktifkan, sehingga tidak dapat bereplikasi dibandingkan vaksin lain dengan jenis yang sama seperti vaksin tetanus, difteri maupun influenza. Sehingga, secara umum vaksin jenis ini aman dan dapat memberikan perlindungan pasif untuk janin, serta tidak menyebabkan keguguran maupun kelainan kongenital. 

Namun demikian, sejumlah badan dunia, organisasi profesi, lembaga kesehatan nasional maupun internasional seperti World Health Organisation (WHO) dan Persatuan Obstetri dan Ginekolog Indonesia (POGI) belum merekomendasikan vaksinasi Covid-19 untuk ibu hamil. Sebaliknya, vaksinasi bagi ibu menyusui diperbolehkan sepanjang tidak ada kontraindikasi. 

Apakah perlu berhenti menyusui setelah divaksin?

Bayi akan mendapatkan segudang manfaat dari air susu ibu. Manfaat ASI bagi tumbuh kembang bayi begitu berlimpah, termasuk di dalamnya antibodi. Itu sebabnya, Bunda tidak perlu berhenti menyusui setelah menerima vaksin Covid-19. Bahkan bayi dapat menerima manfaat vaksin dari ASI Bunda. 

Saya berencana menjalankan program hamil, apakah boleh divaksin?

Jika Bunda berencana menjalankan program kehamilan, sebaiknya tunda terlebih dahulu sampai mendapatkan vaksin Covid-19. Bunda dapat menjalankan program hamil paling lama 4 minggu setelah divaksin untuk menghindari Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)

Saya tengah melaksanakan vaksinasi lain, apakah dapat menerima vaksin Covid-19?

Tergantung vaksinasi apa yang sedang dilaksanakan. Jika dari vaksinasi tersebut diharapkan angkat titer antibodi tinggi dalam waktu yang cepat, maka vaksinasi tersebut perlu diselesaikan terlebih dahulu. Sementara untuk pemberian vaksin yang bersifat booster atau penguat, dapat ditunda.  

Apakah vaksin Covid-19 dapat menyebabkan kemandulan?

Tidak ada bukti bahwa vaksin Covid-19 menyebabkan kemandulan. Kabar ini sempat beredar Desember tahun lalu. Dikatakan bahwa kandungan yang ada pada vaksin bisa menyerang protein yang diperlukan untuk perkembangan plasenta. Akan tetapi, direktur WHO menepis kabar tersebut. Menurut situs Healthline, protein vaksin Covid-19 merupakan struktur yang sama sekali berbeda dari protein yang ada di plasenta. Sehingga, keduanya tidak berhubungan. 

Continue Reading

Trending