fbpx
Connect with us

Kehamilan

‎Kehamilan Ektopik vs Kehamilan Anggur, Apa Perbedaannya?

Apa yang membedakan antara kehamilan ektopik dan kehamilan anggur? Simak ulasan selengkapnya dalam artikel berikut.

mm

Published

on

kehamian ektopik dan kehamilan anggur
Hal apa saja yang membedakan antara kehamilan ektopik dan kehamilan anggur? Simak ulasan selengkapnya dalam artikel berikut.

Kehamilan ektopik dan kehamilan anggur merupakan dua kondisi yang berbeda, namun sama-sama membahayakan ibu hamil. Sayangnya, banyak yang menganggap keduanya adalah hal yang sama. Meski sama-sama menimbulkan gejala perdarahan pada awal kehamilan, namun penting bagi ibu hamil untuk memahami perbedaan dua kondisi kehamilan abnormal tersebut. Berikut adalah perbedaan mendasar antara kehamilan ektopik vs kehamilan anggur ya Bunda.

Kehamilan Ektopik

Kehamilan ektopik disebut juga hamil di luar kandungan, atau terjadinya perkembangan hasil konsepsi di luar rongga rahim. Setelah dibuahi oleh sperma di dalam saluran telur, sel telur akan berubah menjadi suatu hasil konsepsi yang disebut zigot. Zigot ini kemudian akan diantarkan melalui saluran telur oleh bulu-bulu halus dalam saluran telur menuju ke dalam rongga rahim untuk kemudian membenamkan diri (implantasi) ke dinding dalam rahim dan berkembang di sana.

Perkembangan zigot dalam rongga rahim ini akan diikuti dengan pembesaran rahim. Akan tetapi pada beberapa kasus, terdapat gangguan pada penghantaran zigot ke dalam rahim. Hal ini dapat terjadi beberapa hal:

  • Rusaknya bulu-bulu halus dalam saluran telur
  • Gangguan pergerakan bulu halus dalam saluran telur akibat hormon atau karena saluran telur yang mengalami sumbatan. Pada kondisi ini, zigot tidak dapat mencapai rongga rahim dan menempel pada dinding saluran telur, sekitar leher rahim, indung telur , atau bahkan pada organ-organ dalam perut lainnya.

Dalam kondisi zigot menempel dan berkembang selain di dalam rongga rahim, perkembangan zigot ini tidak dapat diikuti dengan perkembangan dari organ yang ditumpanginya, sehingga lama-lama terjadi kerusakan akibat desakan yang berlebih dari hasil konsepsi yang menjadi lebih besar.

Dapat diambil sebagai contoh, perkembangan hasil konsepsi pada saluran telur tidak dapat diimbangi dengan pembesaran dari saluran telur. Akibatnya saluran telur akan meregang akibat pertambahan ukuran hasil konsepsi di dalamnya. Pada kondisi tertentu, regangan ini mengakibatkan pecahnya dinding saluran telur dan mengakibatkan terjadinya perdarahan ke dalam perut. Jika terjadi hal demikian, maka diperlukan tindakan operasi segera untuk menghentikan perdarahan.

Oleh karena itu perlu dilakukan skrining pada trimester pertama kehamilan untuk menentukan lokasi kehamilan ya, Bunda. Apabila diketahui sebelum pecah, pada kondisi tertentu dapat dilakukan tindakan konservatif dengan memberikan agen kemoterapi.

Hati-hati jika saat trimester pertama kehamilan Bunda merasakan nyeri perut hebat, lemas/anemia dan atau disertai dengan keluarnya bercak darah dari vagina. Mungkin gejala ini menunjukkan adanya kehamilan ektopik yang terganggu. Pada kondisi ini, dokter akan menegakkan diagnosis dengan melakukan pemeriksaan USG. Pada kondisi yang berat, saat operasi seringkali dibutuhkan transfusi untuk menggantikan darah yang hilang.

Adapun tindakan yang dilakukan saat operasi adalah dengan menjahit kembali bagian yang robek untuk menghentikan perdarahan, atau pada kondisi yang berat dan tidak mungkin diperbaiki, dapat dilakukan pengangkatan saluran telur yang rusak untuk menghentikan perdarahan.

Jangan khawatir, karena Bunda masih bisa hamil lagi meskipun hanya mempunyai satu saluran telur yang berfungsi baik. Akan tetapi, apabila pada kehamilan sebelumnya Bunda mengalami kehamilan di luar kandungan, maka risiko untuk terjadi kehamilan di luar kandungan lagi menjadi lebih besar.

Oleh karena itu periksakanlah diri Bunda ke dokter untuk dapat dilakukan USG dalam rangka menentukan lokasi kantung kehamilan, segera setelah mendapati hasil tes kehamilan yang positif.

Kehamilan Anggur

Berbeda dengan kehamilan ektopik, kehamilan anggur terjadi di dalam rahim. Akan tetapi, pada kondisi ini terjadi kegagalan perkembangan dari hasil konsepsi menjadi janin. Umumnya hal ini terjadi sebagai akibat dari kerusakan kromosom pada hasil konsepsi. Akibat kondisi tersebut, hasil konsepsi akhirnya membentuk sekumpulan gelembung berisi cairan yang menyerupai anggur.

Ibu yang mengalami kehamilan ini biasanya juga akan mengalami gejala mual muntah yang berlebihan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan ukuran tinggi fundus uteri yang lebih besar dari usia kehamilan, tidak ditemukan denyut jantung janin dan apabila terjadi perdarahan, dapat ditemukan gelembung-gelembung kecil berisi cairan menyerupai anggur.

Evakuasi jaringan abnormal merupakan metode utama yang umumnya disarankan dokter untuk menangani kehamilan anggur. Langkah tersebut dapat ditempuh melalui beberapa prosedur seperti kuret atau pengangkatan rahim apabila penderita sudah tidak ingin memiliki anak lagi.

Berbeda dengan kuret pada keguguran, pada hamil anggur diperlukan pengukuran BhCG serial untuk memastikan tindakan selanjutnya. Apabila pada evaluasi paska kuret atau pengangkatan rahim didapatkan kenaikan kadar bHCg, maka perlu dilakukan pemberian kemoterapi.

Selain itu, apabila hasil pemeriksaan Patologi Anatomik jaringan yang dikeluarkan menunjukkan adanya tanda keganasan, maka perlu dilakukan kemoterapi.

Selama pengobatan, Bunda disarankan untuk tidak hamil dulu hingga kadar BhcG normal selama beberapa kali pengukuran.

Nah, itulah perbedaan antara kehamilan ektopik vs kehamilan anggur. Untuk mendapatkan berbagai informasi dan tips menarik seputar kehamilan, download saja aplikasi mobile Ibu Sehati di Play Store atau App Store. Sebagai aplikasi pendamping ibu hamil berbahasa Indonesia, Ibu Sehati akan menjadi teman baik Bunda dalam menjalani kehamilan yang sehat dan menenangkan. Semoga bermanfaat!

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Kehamilan

Memahami Perubahan pada Tubuh setelah Keguguran

mm

Published

on

efek keguguran
Efek keguguran tak hanya pada psikis, tapi juga fisik

Bunda mungkin ingat beberapa waktu lalu Chrissy Teigen, istri dari penulis lagu dan penyanyi John Legend, sempat berbagi cerita pengalamannya melalui keguguran via Instagram maupun Twitter. Dari kisahnya, kita jadi memahami bahwa keguguran bukanlah pengalaman yang mudah untuk dilalui, baik secara psikis maupun fisik. Efek keguguran pada fisik ibu bahkan bisa bertahan hingga berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan.

Bila Bunda adalah salah satu yang baru saja melalui momen berat itu, artikel ini mungkin bisa membantu Bunda memahami perubahan apa saja yang terjadi dan apa yang harus dilakukan karenanya.

Perubahan Fisik setelah Mengalami Keguguran

Di Indonesia, perempuan pekerja yang mengalami keguguran berhak mendapatkan cuti selama 1,5 bulan lamanya. Pemberian waktu istirahat ini bukan tanpa alasan. Selain kondisi emosional yang butuh waktu untuk pulih, kondisi fisik Bunda setelah mengalami keguguran pun akan terasa sangat berbeda.

Dilansir dari Parents.com, semakin lama Bunda mengalami kehamilan sebelum akhirnya keguguran, semakin banyak pula efek keguguran yang akan dirasakan tubuh. Hal paling mungkin yang Bunda rasakan adalah perubahan pada payudara dan kenaikan berat badan. 

Jika Bunda mengalami kematian janin dalam kandungan atau intrauterine fetal death (IUFD) di mana usia kandungan sudah di atas 20 minggu, Bunda mungkin sudah merasakan penuh pada payudara karena ASI sudah mulai dipersiapkan. ASI yang semestinya diperuntukkan bagi bayi, kini tetap tinggal dalam payudara dan bisa menimbulkan rasa sakit.

Tak hanya itu, hal lainnya yang mungkin Bunda alami adalah timbulnya selulit, sakit pada perut, rambut rontok, hingga rasa sakit pada vagina. Rasa sakit pada vagina ini umumnya dirasakan oleh para bunda yang mendapatkan episiotomi (jahitan pada perineum) ketika proses mengeluarkan janin. 

Bunda juga akan merasakan kram perut karena rahim yang berkontraksi untuk mengeluarkan sisa darah. Perdarahan yang lebih banyak dari menstruasi pun akan terjadi. Gumpalan darah pun mungkin akan turut keluar. Bagi Bunda yang sebelumnya pernah melahirkan, rasanya tidak akan jauh berbeda dengan masa nifas. 

Efek keguguran pada tubuh ini bisa bertahan selama beberapa hari bahkan minggu tergantung lamanya kehamilan sebelum mengalami keguguran. Perdarahan yang dialami oleh perempuan saat keguguran di usia 6 minggu biasanya akan lebih sedikit dan singkat dibanding perdarahan pada keguguran di usia 16 minggu.

Kondisi Emosional yang Dialami

Selain perubahan fisik, perubahan emosional tak dapat dinafikan. Rasa bingung, sedih, bahkan bersalah, campur baur jadi satu. Dan rasa duka ini mungkin diperparah dengan kondisi hormon yang berubah tiba-tiba. Saat keguguran terjadi, hormon estrogen dan progesteron turun drastis. Hormon hCG pun pelan-pelan menurun hingga nol. Kondisi emosional yang sudah tak stabil akan bertambah buruk karena hal ini.

Bagaimana Menyelesaikannya?

Kondisi fisik yang melelahkan ditambah dengan kondisi emosional yang masih berduka mungkin membuat Bunda ingin menyendiri dan menjauh dari kehidupan sosial. Its okay, take your time. Namun, jika dirasa Bunda tak dapat menyelesaikannya sendiri, cobalah ungkapkan perasaan kepada orang terdekat yang membuat Bunda nyaman. Entah itu pasangan, orang tua, atau sahabat. 

Tak perlu pula merasa bersalah jika Bunda ingin menerima bantuan sebanyak mungkin. Kondisi fisik yang belum sepenuhnya prima mungkin akan membuat Bunda kesulitan mengerjakan pekerjaan rumah. Jika sahabat ataupun saudara menawarkan bantuan, terimalah selama Bunda merasa nyaman.
Jika bercerita dengan orang terdekat belum juga mendamaikan hati Bunda, Bunda bisa meminta bantuan profesional, seperti terapis, psikolog, ataupun psikiater. Bergabung dalam support group pun terkadang bisa membantu. Namun, pastikan support group yang Bunda ikuti diampu oleh seorang tenaga ahli, ya.

Continue Reading

Kehamilan

Simak! Ini Dampak Pandemi bagi Ibu Hamil dan Bayi

mm

Published

on

Pandemi Covid-19 berdampak pada kita semua. Namun, tahukah, Bunda, bahwa pandemi ini memiliki konsekuensi tersendiri bagi ibu hamil dan ibu yang baru melahirkan? Begitu pun pada bayi yang baru lahir.

Risiko selama Kehamilan

Dilansir dari mayoclinic.org, risiko penularan Covid-19 pada ibu hamil berada pada level rendah. Namun, kehamilan meningkatkan risiko komplikasi serius pada bumil yang menderita Covid-19. Menurut Centers for Disease Control and Prevention, ibu hamil dengan Covid-19 lebih berpotensi mengalami masalah pernapasan yang membutuhkan penanganan intensif dibanding pasien yang tidak dalam keadaan hamil. Ibu hamil dengan Covid-19 juga lebih mungkin membutuhkan ventilator.

Sebuah studi dari para peneliti di University of Jordan menunjukkan sisi lain dampak pandemi bagi ibu hamil. Penelitian yang dilakukan pada sekitar 900 orang ibu hamil ini menunjukkan bahwa ada penurunan jumlah pemeriksaan kehamilan yang signifikan. Hanya 4% ibu hamil yang menerima pemeriksaan kehamilan selama lockdown. Padahal, ibu hamil saat pandemi sangat membutuhkan pemeriksaan kehamilan tepat waktu dan berkualitas demi kesehatan bayi yang dikandung. 

Di Indonesia sendiri, Bunda bisa melakukan pemeriksaan kehamilan di bidan yang tentunya lebih dekat dari rumah dan lebih kecil kemungkinannya berkontak dengan pasien lain. Cara ini bisa membuat Bunda tetap mendapatkan pemeriksaan kehamilan meski PSBB diberlakukan. Risiko penularan Covid-19 pun lebih rendah. Dengan catatan, kehamilan Bunda tidak berisiko dan tidak memiliki komplikasi serius ya. Kehamilan dengan risiko sebaiknya langsung diperiksakan ke dokter kandungan.

Persalinan di Tengah Pandemi

Ibu yang hamil saat pandemi berpotensi besar juga melahirkan di kala pandemi. Hal ini bisa menjadi kerugian tersendiri. Mengapa? 

Di masa pandemi, mayoritas faskes hanya memperbolehkan satu pendamping selama persalinan dan selama di ruang perawatan, beberapa faskes bahkan tidak memperbolehkan adanya pendamping sama sekali kala proses melahirkan. Padahal, ibu baru membutuhkan dukungan sebanyak yang diperlukan. Rasa lelah setelah melahirkan ditambah adaptasi dengan kehadiran bayi kadang membuat ibu baru kewalahan. Belum lagi ancaman baby blues yang bisa berkembang menjadi depresi pasca persalinan bila rasa sedih dan stres tinggal berlarut-larut. Angka depresi pasca persalinan sendiri meningkat selama pandemi, loh.

Dampak Pandemi bagi Bayi yang Baru Lahir

Tak hanya bagi Bunda, pandemi juga memiliki dampak sendiri bagi bayi. Sistem imun yang belum sempurna membuat bayi rentan tertular Covid-19, apalagi anak di bawah usia 2 tahun tidak diperbolehkan menggunakan masker karena khawatir mengganggu jalannya pernapasan. 

Belum lagi jika ada anggota keluarga yang kekeuh ingin menjenguk si kecil di tengah pandemi, risikonya pasti akan berlipat. Sulit pasti menerapkan protokol pada keluarga sendiri, tapi tetap dicoba ya, Bun. Mintalah keluarga yang menjenguk mengenakan masker baru ketika berada di dekat si kecil.

Bagi bayi yang orang tuanya terinfeksi Covid-19, ada kerugian lain yang akan dialami. Biasanya, bayi akan dipisahkan dari ibunya dan tidak bisa dirawat gabung demi mencegah penularan. Ini akan mengurangi peluang bayi untuk melakukan skin to skin contact dengan sang bunda. Pada beberapa kasus, ada pula kemungkinan bayi diperbolehkan pulang terlebih dulu dari rumah sakit, sementara sang ibu masih dirawat, sehingga proses menyusui langsung tidak bisa dilakukan dengan optimal.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Untuk meminimalisasi risiko penularan Covid-19 bagi Bunda yang tengah hamil dan keluarga, hal yang bisa dilakukan adalah mematuhi protokol kesehatan. Hindari bepergian ke luar rumah kecuali ada kebutuhan mendesak. Kalaupun harus ke luar rumah, selalu gunakan masker dan jaga jarak. Minta pula orang-orang yang tinggal serumah melakukan hal yang sama. Jangan lupa cuci tangan dengan air mengalir dan sabun sebelum menyentuh wajah atau makan/minum. Konsumsi gizi seimbang agar daya tahan tubuh terjaga.

Yang terpenting tetap semangat ya, Bun. Semoga senantiasa sehat!

Continue Reading

Kehamilan

Pertanyaan seputar Vaksin Covid-19 untuk Ibu Hamil dan Menyusui

mm

Published

on

vaksin covid untuk ibu hamil
Apakah vaksin Covid-19 bagi ibu hamil atau menyusui benar aman dan efektif?

Vaksinasi Covid-19 terus digencarkan pemerintah untuk mencapai kekebalan komunitas atau herd immunity. Di tengah program yang terus bergulir, banyak juga pertanyaan terkait keamanan dan efektivitas vaksin, salah satunya untuk ibu hamil dan menyusui. 

Berikut ini Ibu Sehati merangkumkan beberapa pertanyaan yang kerap muncul mengenai kaitan vaksin Covid-19 dengan ibu hamil dan menyusui. Yuk, disimak. 

Bagaimana cara kerja vaksin Covid-19?

Tujuan vaksin adalah agar penerima dapat memiliki kekebalan terhadap suatu penyakit. Untuk Covid-19 itu sendiri, yang menjadi penyebabnya adalah virus SARS CoV-2. Melalui vaksinasi tubuh kita berkenalan dengan virus tersebut. Setelah dikenali, diharapkan tubuh dapat membangun sistem kekebalan untuk melawan virus tersebut. Mereka yang belum menerima vaksin, tubuhnya tidak mengenali virus dan tidak tahu cara melawannya. Itu sebabnya, mereka yang tidak menerima vaksin, dapat jatuh sakit karena tubuh tidak memiliki bekal untuk melawan infeksi yang disebabkan oleh virus. 

Akan tetapi, kekebalan tubuh itu tidak datang secara serta-merta. Diperlukan waktu bagi vaksin untuk dapat bekerja maksimal. Vaksin SInovac yang digunakan di Indonesia, misalnya, diperlukan dua kali suntikan dengan jarak antara 28 hingga 40 hari. 

Apakah janin bisa mengidap Covid-19 jika ibu hamil menerima vaksin Covid-19?

Melalui vaksinasi Covid-19, bayi dalam kandungan ibu tidak akan terpapar virus. Virus Covid-19 itu sendiri terbuat dari satu protein yang tidak akan bereplikasi di dalam tubuh manusia. Selain tidak menyebabkan seorang yang divaksin menjadi positif Covid-19, begitupun janin dalam perut ibu hamil. 

Apakah vaksin Covid-19 aman untuk ibu hamil dan menyusui?

Dalam situasi darurat, uji klinis vaksin tidak akan melibatkan ibu hamil. Itu sebabnya, hingga sekarang tidak ada angka efikasi maupun keamanan vaksin bagi ibu hamil. Dari semua vaksin Covid-19 yang beredar saat ini pun tidak ada yang melibatkan ibu menyusui dalam uji klinisnya. 

Namun, vaksin dari jenis mRNA yang tidak diaktifkan, sehingga tidak dapat bereplikasi dibandingkan vaksin lain dengan jenis yang sama seperti vaksin tetanus, difteri maupun influenza. Sehingga, secara umum vaksin jenis ini aman dan dapat memberikan perlindungan pasif untuk janin, serta tidak menyebabkan keguguran maupun kelainan kongenital. 

Namun demikian, sejumlah badan dunia, organisasi profesi, lembaga kesehatan nasional maupun internasional seperti World Health Organisation (WHO) dan Persatuan Obstetri dan Ginekolog Indonesia (POGI) belum merekomendasikan vaksinasi Covid-19 untuk ibu hamil. Sebaliknya, vaksinasi bagi ibu menyusui diperbolehkan sepanjang tidak ada kontraindikasi. 

Apakah perlu berhenti menyusui setelah divaksin?

Bayi akan mendapatkan segudang manfaat dari air susu ibu. Manfaat ASI bagi tumbuh kembang bayi begitu berlimpah, termasuk di dalamnya antibodi. Itu sebabnya, Bunda tidak perlu berhenti menyusui setelah menerima vaksin Covid-19. Bahkan bayi dapat menerima manfaat vaksin dari ASI Bunda. 

Saya berencana menjalankan program hamil, apakah boleh divaksin?

Jika Bunda berencana menjalankan program kehamilan, sebaiknya tunda terlebih dahulu sampai mendapatkan vaksin Covid-19. Bunda dapat menjalankan program hamil paling lama 4 minggu setelah divaksin untuk menghindari Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)

Saya tengah melaksanakan vaksinasi lain, apakah dapat menerima vaksin Covid-19?

Tergantung vaksinasi apa yang sedang dilaksanakan. Jika dari vaksinasi tersebut diharapkan angkat titer antibodi tinggi dalam waktu yang cepat, maka vaksinasi tersebut perlu diselesaikan terlebih dahulu. Sementara untuk pemberian vaksin yang bersifat booster atau penguat, dapat ditunda.  

Apakah vaksin Covid-19 dapat menyebabkan kemandulan?

Tidak ada bukti bahwa vaksin Covid-19 menyebabkan kemandulan. Kabar ini sempat beredar Desember tahun lalu. Dikatakan bahwa kandungan yang ada pada vaksin bisa menyerang protein yang diperlukan untuk perkembangan plasenta. Akan tetapi, direktur WHO menepis kabar tersebut. Menurut situs Healthline, protein vaksin Covid-19 merupakan struktur yang sama sekali berbeda dari protein yang ada di plasenta. Sehingga, keduanya tidak berhubungan. 

Continue Reading

Trending