Kehamilan
Mengatasi Kekurangan Zat Besi pada Ibu Hamil
Apakah Anda sedang mencoba untuk hamil, sedang hamil, atau menjalani masa pemulihan pasca persalinan, kandungan zat besi dalam tubuh menjadi hal penting yang perlu terus dipantau oleh tenaga kesehatan. Apalagi, jika Bunda berisiko tinggi mengalami defisiensi anemia zat besi, tipe anemia yang paling sering ditemui.
Apa itu anemia zat besi? Ini adalah kondisi yang disebabkan oleh rendahnya kadar zat besi dalam tubuh. Anemia akan terjadi saat tubuh tidak dapat memproduksi cukup banyak sel darah merah, atau jika sel darah merah dalam tubuh tidak dapat berfungsi dengan baik.
Gejala Anemia Zat Besi
Jika kadar zat besi dalam tubuh rendah, ibu hamil bisa mengalami beberapa gejala dan tanda berikut ini:
- Cepat lelah
- Tangan dan kaki terasa dingin
- Pusing
- Lesu
- Nyeri dada
- Kulit pucat dan kuku rapuh
- Denyut jantung tidak beraturan
- Sakit kepala
- Suhu tubuh rendah
- Napas pendek
Lantas, apa yang menjadi penyebab utama anemia zat besi? Pada umumnya, asupan zat besi yang kurang menjadi penyebab utama. Hal ini bisa terjadi jika pola makan yang Bunda terapkan tidak cukup menyertakan makanan yang kaya zat besi, terjadinya perdarahan, kondisi kesehatan tertentu seperti penyakit celiac atau Crohn’s yang menyebabkan tubuh sulit menyerap zat besi dari makanan, serta kurangnya suplementasi zat besi.
Selain itu, anemia zat besi juga lebih sering dialami oleh perempuan daripada lelaki dan cenderung lebih banyak dialami oleh ibu hamil.
Bagaimana Kehamilan Memicu Anemia Zat Besi?
Ketika hamil, tubuh memerlukan lebih banyak zat besi untuk pertumbuhan sel-sel tubuh yang mendukung perkembangan janin. Kebutuhan ini akan meningkat pada trimester kedua akhir.
Menurut Dr. Matthew Cantor, dokter obstetri dan kebidanan di Rumah Sakit NewYork-Presbyterian Hudson Valley, AS, anemia zat besi ini terjadi pada ibu hamil karena dua alasan:
- Volume darah ibu hamil meningkat tajam yang menyebabkan kadar zat besi dalam darah menjadi lebih encer
- Perempuan yang mengalami anemia sebelum kehamilan biasanya akan terus mengalami anemia zat besi dan perlu dimonitor secara ketat oleh dokter.
Ini Peran Penting Zat Besi dalam Kehamilan
Ibu hamil biasanya akan disarankan untuk mengonsumsi suplemen zat besi untuk mencegah terjadinya anemia. Pasalnya, zat besi punya peran yang sangat krusial selama kehamilan. Tubuh memerlukan lebih banyak darah untuk membantu menyuplai plasenta dengan nutrisi yang diperlukannya untuk tumbuh. Selain itu, zat besi juga diperlukan untuk membantu mencegah kondisi kesehatan yang dapat berpengaruh buruk terhadap ibu hamil maupun si kecil dalam kandungan.
Seperti dinyatakan oleh American College of Obstetricians and Gynecologist (ACOG), ibu hamil disarankan mengonsumsi zat besi dua kali lebih banyak dibanding perempuan yang tidak hamil. Hal ini diperlukan untuk memastikan asupan oksigen ke janin tetap terpenuhi.
Menurut Dr. Cantor, zat besi sangat penting perannya dalam kehamilan, karena hal berikut ini:
- Mengatasi anemia sebelum persalinan dapat mengkompensasi hilangnya darah selama proses persalinan normal.
- Kondisi anemia sebelum persalinan meningkatkan kemungkinan ibu hamil memerlukan transfusi darah.
- Lebih jauh lagi, ada keterkaitan antara anemia dan berat bayi lahir rendah, persalinan prematur, preeklampsia, dan angka kematian ibu hamil dan bayi baru lahir. Persalinan prematur maupun berat bayi lahir rendah meningkatkan risiko terjadinya masalah perkembangan selama masa kanak-kanaknya.
- Anemia dapat menimbulkan kesulitan saat menyusui dan juga dikaitkan dengan depresi pascapersalinan.
Mengatasi Anemia Zat Besi sebelum Kehamilan
Jika anemia terdiagnosa sebelum kehamilan, penting bagi tenaga kesehatan untuk mencari tahu tipe anemia yang Bunda alami. Tenaga kesehatan yang menangani Bunda dapat melakukan beberapa pemeriksaan untuk mengetahui penyebabnya. Bisa jadi anemia ini disebabkan oleh kekurangan asam folat atau vitamin B12, serta mutasi sel darah merah atau thalassemia.
Darah menstruasi yang deras juga bisa menjadi penyebab kekurangan zat besi yang kerap dialami oleh perempuan dalam usia produktif yang tidak hamil. Penanganan anemia sebelum kehamilan sama saja dengan saat hamil, yaitu dengan memperbaiki pola makan dan suplementasi zat besi.
Mengatasi Anemia Zat Besi saat Hamil
Dokter akan melakukan pemeriksaan anemia di awal masa kehamilan dan kemudian diulangi di trimester kedua dan ketiga.
Mendorong pola makan yang kaya kandungan zat besi bisa membantu mengatasi masalah. Akan tetapi, jenis sumber zat besi juga mempengaruhi penyerapannya. Misalnya saja, zat besi yang bersumber dari tanaman seperti sayuran hijau, kerang, kacang-kacangan, biji-bijian maupun polong-polongan kurang dapat diserap dengan baik. Disarankan untuk mengonsumsi zat besi dari makanan yang berasal dari hewan, misalnya daging merah, daging unggas dan ikan. Untuk membantu penyerapan zat besi, ibu hamil juga disarankan untuk mengonsumsi makanan sumber zat besi bersama makanan yang tinggi kandungan vitamin C.
Mengingat pentingnya peran zat besi selama kehamilan, suplementasi zat besi merupakan hal yang wajib dilakukan. Suplemen zat besi ini bisa dikonsumsi setiap hari atau dua hari sekali. Dalam setiap kapsul suplemen terkandung 27 miligram zat besi, atau setara jumlah yang disarankan selama masa kehamilan.
Jika kekurangan zat besi dialami selama trimester kedua kehamilan, dokter juga akan memberikan suplemen zat besi secara oral. Untuk membantu penyerapan zat besi dalam suplemen, sebaiknya dikonsumsi dalam keadaan perut kosong bersama jus jeruk. Sementara jika terdeteksi pada trimester ketiga, dan ditemukan kondisi anemia tidak membaik, bisa saja dokter menyarankan untuk suplementasi zat besi melalui infus.
Anemia Zat Besi Pasca Persalinan
Setelah persalinan dan selama dua minggu sampai dua bulan pertama pascapersalinan, biasanya gejala anemia akan berkurang. Kejadian anemia memang mengalami penurunan setelah persalinan karena proses menyusui membuat perempuan tidak mengalami menstruasi.
Meski demikian, beberapa perempuan masih mengalami anemia zat besi setelah persalinan. Hal ini biasanya disebabkan oleh kurangnya asupan zat besi selama kehamilan dan banyaknya darah yang hilang saat proses melahirkan. Anemia yang terjadi pasca persalinan ini bisa meningkatkan gejala yang berkaitan dengan kecemasan, stres, dan depresi. Hal ini juga mengurangi keeratan ikatan antara ibu dan anak.
Maka dari itu, suplemen tetap penting diberikan kepada ibu yang baru melahirkan. Suplementasi ini membantu mendukung proses menyusui dan mengurangi risiko depresi pasca persalinan pada ibu.
Demikian penjelasan mengenai risiko anemia sebelum dan selama kehamilan, serta pasca persalinan, juga cara mengatasinya. Dengan mencegah anemia zat besi, Bunda juga menjaga kesehatan janin dan diri sendiri. Sepele, tapi penting artinya. Jadi, jangan sampai melewatkan pemeriksaan ini ya, Bunda.
Kehamilan
Memahami Perubahan pada Tubuh setelah Keguguran
Bunda mungkin ingat beberapa waktu lalu Chrissy Teigen, istri dari penulis lagu dan penyanyi John Legend, sempat berbagi cerita pengalamannya melalui keguguran via Instagram maupun Twitter. Dari kisahnya, kita jadi memahami bahwa keguguran bukanlah pengalaman yang mudah untuk dilalui, baik secara psikis maupun fisik. Efek keguguran pada fisik ibu bahkan bisa bertahan hingga berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan.
Bila Bunda adalah salah satu yang baru saja melalui momen berat itu, artikel ini mungkin bisa membantu Bunda memahami perubahan apa saja yang terjadi dan apa yang harus dilakukan karenanya.
Perubahan Fisik setelah Mengalami Keguguran
Di Indonesia, perempuan pekerja yang mengalami keguguran berhak mendapatkan cuti selama 1,5 bulan lamanya. Pemberian waktu istirahat ini bukan tanpa alasan. Selain kondisi emosional yang butuh waktu untuk pulih, kondisi fisik Bunda setelah mengalami keguguran pun akan terasa sangat berbeda.
Dilansir dari Parents.com, semakin lama Bunda mengalami kehamilan sebelum akhirnya keguguran, semakin banyak pula efek keguguran yang akan dirasakan tubuh. Hal paling mungkin yang Bunda rasakan adalah perubahan pada payudara dan kenaikan berat badan.
Jika Bunda mengalami kematian janin dalam kandungan atau intrauterine fetal death (IUFD) di mana usia kandungan sudah di atas 20 minggu, Bunda mungkin sudah merasakan penuh pada payudara karena ASI sudah mulai dipersiapkan. ASI yang semestinya diperuntukkan bagi bayi, kini tetap tinggal dalam payudara dan bisa menimbulkan rasa sakit.
Tak hanya itu, hal lainnya yang mungkin Bunda alami adalah timbulnya selulit, sakit pada perut, rambut rontok, hingga rasa sakit pada vagina. Rasa sakit pada vagina ini umumnya dirasakan oleh para bunda yang mendapatkan episiotomi (jahitan pada perineum) ketika proses mengeluarkan janin.
Bunda juga akan merasakan kram perut karena rahim yang berkontraksi untuk mengeluarkan sisa darah. Perdarahan yang lebih banyak dari menstruasi pun akan terjadi. Gumpalan darah pun mungkin akan turut keluar. Bagi Bunda yang sebelumnya pernah melahirkan, rasanya tidak akan jauh berbeda dengan masa nifas.
Efek keguguran pada tubuh ini bisa bertahan selama beberapa hari bahkan minggu tergantung lamanya kehamilan sebelum mengalami keguguran. Perdarahan yang dialami oleh perempuan saat keguguran di usia 6 minggu biasanya akan lebih sedikit dan singkat dibanding perdarahan pada keguguran di usia 16 minggu.
Kondisi Emosional yang Dialami
Selain perubahan fisik, perubahan emosional tak dapat dinafikan. Rasa bingung, sedih, bahkan bersalah, campur baur jadi satu. Dan rasa duka ini mungkin diperparah dengan kondisi hormon yang berubah tiba-tiba. Saat keguguran terjadi, hormon estrogen dan progesteron turun drastis. Hormon hCG pun pelan-pelan menurun hingga nol. Kondisi emosional yang sudah tak stabil akan bertambah buruk karena hal ini.
Bagaimana Menyelesaikannya?
Kondisi fisik yang melelahkan ditambah dengan kondisi emosional yang masih berduka mungkin membuat Bunda ingin menyendiri dan menjauh dari kehidupan sosial. Its okay, take your time. Namun, jika dirasa Bunda tak dapat menyelesaikannya sendiri, cobalah ungkapkan perasaan kepada orang terdekat yang membuat Bunda nyaman. Entah itu pasangan, orang tua, atau sahabat.
Tak perlu pula merasa bersalah jika Bunda ingin menerima bantuan sebanyak mungkin. Kondisi fisik yang belum sepenuhnya prima mungkin akan membuat Bunda kesulitan mengerjakan pekerjaan rumah. Jika sahabat ataupun saudara menawarkan bantuan, terimalah selama Bunda merasa nyaman.
Jika bercerita dengan orang terdekat belum juga mendamaikan hati Bunda, Bunda bisa meminta bantuan profesional, seperti terapis, psikolog, ataupun psikiater. Bergabung dalam support group pun terkadang bisa membantu. Namun, pastikan support group yang Bunda ikuti diampu oleh seorang tenaga ahli, ya.
Kehamilan
Simak! Ini Dampak Pandemi bagi Ibu Hamil dan Bayi
Pandemi Covid-19 berdampak pada kita semua. Namun, tahukah, Bunda, bahwa pandemi ini memiliki konsekuensi tersendiri bagi ibu hamil dan ibu yang baru melahirkan? Begitu pun pada bayi yang baru lahir.
Risiko selama Kehamilan
Dilansir dari mayoclinic.org, risiko penularan Covid-19 pada ibu hamil berada pada level rendah. Namun, kehamilan meningkatkan risiko komplikasi serius pada bumil yang menderita Covid-19. Menurut Centers for Disease Control and Prevention, ibu hamil dengan Covid-19 lebih berpotensi mengalami masalah pernapasan yang membutuhkan penanganan intensif dibanding pasien yang tidak dalam keadaan hamil. Ibu hamil dengan Covid-19 juga lebih mungkin membutuhkan ventilator.
Sebuah studi dari para peneliti di University of Jordan menunjukkan sisi lain dampak pandemi bagi ibu hamil. Penelitian yang dilakukan pada sekitar 900 orang ibu hamil ini menunjukkan bahwa ada penurunan jumlah pemeriksaan kehamilan yang signifikan. Hanya 4% ibu hamil yang menerima pemeriksaan kehamilan selama lockdown. Padahal, ibu hamil saat pandemi sangat membutuhkan pemeriksaan kehamilan tepat waktu dan berkualitas demi kesehatan bayi yang dikandung.
Di Indonesia sendiri, Bunda bisa melakukan pemeriksaan kehamilan di bidan yang tentunya lebih dekat dari rumah dan lebih kecil kemungkinannya berkontak dengan pasien lain. Cara ini bisa membuat Bunda tetap mendapatkan pemeriksaan kehamilan meski PSBB diberlakukan. Risiko penularan Covid-19 pun lebih rendah. Dengan catatan, kehamilan Bunda tidak berisiko dan tidak memiliki komplikasi serius ya. Kehamilan dengan risiko sebaiknya langsung diperiksakan ke dokter kandungan.
Persalinan di Tengah Pandemi
Ibu yang hamil saat pandemi berpotensi besar juga melahirkan di kala pandemi. Hal ini bisa menjadi kerugian tersendiri. Mengapa?
Di masa pandemi, mayoritas faskes hanya memperbolehkan satu pendamping selama persalinan dan selama di ruang perawatan, beberapa faskes bahkan tidak memperbolehkan adanya pendamping sama sekali kala proses melahirkan. Padahal, ibu baru membutuhkan dukungan sebanyak yang diperlukan. Rasa lelah setelah melahirkan ditambah adaptasi dengan kehadiran bayi kadang membuat ibu baru kewalahan. Belum lagi ancaman baby blues yang bisa berkembang menjadi depresi pasca persalinan bila rasa sedih dan stres tinggal berlarut-larut. Angka depresi pasca persalinan sendiri meningkat selama pandemi, loh.
Dampak Pandemi bagi Bayi yang Baru Lahir
Tak hanya bagi Bunda, pandemi juga memiliki dampak sendiri bagi bayi. Sistem imun yang belum sempurna membuat bayi rentan tertular Covid-19, apalagi anak di bawah usia 2 tahun tidak diperbolehkan menggunakan masker karena khawatir mengganggu jalannya pernapasan.
Belum lagi jika ada anggota keluarga yang kekeuh ingin menjenguk si kecil di tengah pandemi, risikonya pasti akan berlipat. Sulit pasti menerapkan protokol pada keluarga sendiri, tapi tetap dicoba ya, Bun. Mintalah keluarga yang menjenguk mengenakan masker baru ketika berada di dekat si kecil.
Bagi bayi yang orang tuanya terinfeksi Covid-19, ada kerugian lain yang akan dialami. Biasanya, bayi akan dipisahkan dari ibunya dan tidak bisa dirawat gabung demi mencegah penularan. Ini akan mengurangi peluang bayi untuk melakukan skin to skin contact dengan sang bunda. Pada beberapa kasus, ada pula kemungkinan bayi diperbolehkan pulang terlebih dulu dari rumah sakit, sementara sang ibu masih dirawat, sehingga proses menyusui langsung tidak bisa dilakukan dengan optimal.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Untuk meminimalisasi risiko penularan Covid-19 bagi Bunda yang tengah hamil dan keluarga, hal yang bisa dilakukan adalah mematuhi protokol kesehatan. Hindari bepergian ke luar rumah kecuali ada kebutuhan mendesak. Kalaupun harus ke luar rumah, selalu gunakan masker dan jaga jarak. Minta pula orang-orang yang tinggal serumah melakukan hal yang sama. Jangan lupa cuci tangan dengan air mengalir dan sabun sebelum menyentuh wajah atau makan/minum. Konsumsi gizi seimbang agar daya tahan tubuh terjaga.
Yang terpenting tetap semangat ya, Bun. Semoga senantiasa sehat!
Kehamilan
Pertanyaan seputar Vaksin Covid-19 untuk Ibu Hamil dan Menyusui
Vaksinasi Covid-19 terus digencarkan pemerintah untuk mencapai kekebalan komunitas atau herd immunity. Di tengah program yang terus bergulir, banyak juga pertanyaan terkait keamanan dan efektivitas vaksin, salah satunya untuk ibu hamil dan menyusui.
Berikut ini Ibu Sehati merangkumkan beberapa pertanyaan yang kerap muncul mengenai kaitan vaksin Covid-19 dengan ibu hamil dan menyusui. Yuk, disimak.
Bagaimana cara kerja vaksin Covid-19?
Tujuan vaksin adalah agar penerima dapat memiliki kekebalan terhadap suatu penyakit. Untuk Covid-19 itu sendiri, yang menjadi penyebabnya adalah virus SARS CoV-2. Melalui vaksinasi tubuh kita berkenalan dengan virus tersebut. Setelah dikenali, diharapkan tubuh dapat membangun sistem kekebalan untuk melawan virus tersebut. Mereka yang belum menerima vaksin, tubuhnya tidak mengenali virus dan tidak tahu cara melawannya. Itu sebabnya, mereka yang tidak menerima vaksin, dapat jatuh sakit karena tubuh tidak memiliki bekal untuk melawan infeksi yang disebabkan oleh virus.
Akan tetapi, kekebalan tubuh itu tidak datang secara serta-merta. Diperlukan waktu bagi vaksin untuk dapat bekerja maksimal. Vaksin SInovac yang digunakan di Indonesia, misalnya, diperlukan dua kali suntikan dengan jarak antara 28 hingga 40 hari.
Apakah janin bisa mengidap Covid-19 jika ibu hamil menerima vaksin Covid-19?
Melalui vaksinasi Covid-19, bayi dalam kandungan ibu tidak akan terpapar virus. Virus Covid-19 itu sendiri terbuat dari satu protein yang tidak akan bereplikasi di dalam tubuh manusia. Selain tidak menyebabkan seorang yang divaksin menjadi positif Covid-19, begitupun janin dalam perut ibu hamil.
Apakah vaksin Covid-19 aman untuk ibu hamil dan menyusui?
Dalam situasi darurat, uji klinis vaksin tidak akan melibatkan ibu hamil. Itu sebabnya, hingga sekarang tidak ada angka efikasi maupun keamanan vaksin bagi ibu hamil. Dari semua vaksin Covid-19 yang beredar saat ini pun tidak ada yang melibatkan ibu menyusui dalam uji klinisnya.
Namun, vaksin dari jenis mRNA yang tidak diaktifkan, sehingga tidak dapat bereplikasi dibandingkan vaksin lain dengan jenis yang sama seperti vaksin tetanus, difteri maupun influenza. Sehingga, secara umum vaksin jenis ini aman dan dapat memberikan perlindungan pasif untuk janin, serta tidak menyebabkan keguguran maupun kelainan kongenital.
Namun demikian, sejumlah badan dunia, organisasi profesi, lembaga kesehatan nasional maupun internasional seperti World Health Organisation (WHO) dan Persatuan Obstetri dan Ginekolog Indonesia (POGI) belum merekomendasikan vaksinasi Covid-19 untuk ibu hamil. Sebaliknya, vaksinasi bagi ibu menyusui diperbolehkan sepanjang tidak ada kontraindikasi.
Apakah perlu berhenti menyusui setelah divaksin?
Bayi akan mendapatkan segudang manfaat dari air susu ibu. Manfaat ASI bagi tumbuh kembang bayi begitu berlimpah, termasuk di dalamnya antibodi. Itu sebabnya, Bunda tidak perlu berhenti menyusui setelah menerima vaksin Covid-19. Bahkan bayi dapat menerima manfaat vaksin dari ASI Bunda.
Saya berencana menjalankan program hamil, apakah boleh divaksin?
Jika Bunda berencana menjalankan program kehamilan, sebaiknya tunda terlebih dahulu sampai mendapatkan vaksin Covid-19. Bunda dapat menjalankan program hamil paling lama 4 minggu setelah divaksin untuk menghindari Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI).
Saya tengah melaksanakan vaksinasi lain, apakah dapat menerima vaksin Covid-19?
Tergantung vaksinasi apa yang sedang dilaksanakan. Jika dari vaksinasi tersebut diharapkan angkat titer antibodi tinggi dalam waktu yang cepat, maka vaksinasi tersebut perlu diselesaikan terlebih dahulu. Sementara untuk pemberian vaksin yang bersifat booster atau penguat, dapat ditunda.
Apakah vaksin Covid-19 dapat menyebabkan kemandulan?
Tidak ada bukti bahwa vaksin Covid-19 menyebabkan kemandulan. Kabar ini sempat beredar Desember tahun lalu. Dikatakan bahwa kandungan yang ada pada vaksin bisa menyerang protein yang diperlukan untuk perkembangan plasenta. Akan tetapi, direktur WHO menepis kabar tersebut. Menurut situs Healthline, protein vaksin Covid-19 merupakan struktur yang sama sekali berbeda dari protein yang ada di plasenta. Sehingga, keduanya tidak berhubungan.
-
Kehamilan4 years ago
Bun, Ini Prosedur Periksa Kehamilan dengan BPJS yang Perlu Diketahui!
-
Pasca4 years ago
Bagaimana Mengetahui Jahitan Kering Pasca Melahirkan Normal?
-
Kehamilan5 years ago
Bagaimana Jika Tinggi Fundus Uteri Kurang dari yang Seharusnya?
-
Kehamilan6 years ago
Bunda, Ini Pentingnya Menghitung Tinggi Fundus Pada Saat Hamil
-
Persalinan5 years ago
Ini yang Akan Bunda Alami Saat Melahirkan dengan Induksi
-
Kehamilan4 years ago
Adakah Gerakan Fisik Tertentu yang Bisa Menyebabkan Keguguran?
-
Kehamilan6 years ago
Ini Fakta Seputar Perut Hamil Bunda
-
Kehamilan6 years ago
5 Jenis Infeksi yang Menyebabkan Cacat Janin